Headlines News :
Home » »

Written By News and Fun on Friday 5 November 2021 | 01:52

 



TANTANGAN PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS DI DAERAH

Oleh:

Mutiawati dan Sofia*

Limbah medis merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) di Indonesia khususnya di Aceh. Pengelolaan limbah medis di Aceh hingga kini masih belum optimal. Beberapa permasalahan terkait dengan pengelolaan limbah medis Fasyankes adalah sulitnya memperoleh izin insinerator, penyimpanan limbah infeksius yang tidak sesuai standar, penumpukan limbah medis yang melebihi kapasitas, tempat penyimpanan sementara yang tidak memenuhi standar, serta besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mengelola limbah medis. Menurut data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2019, ada sekitar 295 ton/hari dihasilkan limbah medis.

Sejak berlangsungnya pandemi Covid-19, limbah medis mengalami peningkatan sebesar 30 persen. Limbah medis ini perlu ditangani secara khusus sesuai dengan persyaratan dan ketentuan perundang-undangan agar proses pengolahannya terhindar dari dampak buruk kesehatan maupun dari kemungkinan terjadinya penularan penyakit lainnya. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan  bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) wajib melakukan pengelolaan limbah B3. Apabila tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan ke pihak lain atau pihak ketiga serta wajib mendapatkan izin dari menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya. Bila pengelolaan limbah B3 tidak dilakukan dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan, maka hal ini dianggap melanggar ketentuan bahkan dapat dipidanakan.

Limbah medis adalah sisa-sisa produk baik biologis maupun nonbiologis yang dihasilkan oleh rumah sakit, klinik, puskesmas, maupun fasilitas kesehatan lainnya. Limbah medis bisa berupa darah, cairan tubuh, bagian tubuh, maupun alat-alat yang sudah terkontaminasi seperti jarum suntik, kain kasa, selang infus, dan lain-lain. Dampak buruk dapat terjadi jika limbah medis tidak ditangani dengan baik, misalnya pada limbah darah, jika darah berasal dari pasien yang mengidap penyakit infeksius seperti HIV dan Hepatitis B, maka akan mudah tertularkan ke orang lain. Limbah jarum suntik, jika dibuang sembarangan dapat melukai dan menularkan penyakit kepada orang lain. Oleh sebab itu, pengelolaan dan penanganan limbah medis perlu mendapat perhatian serius.

Jenis-jenis limbah medis

Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO, limbah medis termasuk didalamnya limbah infeksius, limbah patologis, limbah benda tajam, limbah kimia, limbah farmasi, limbah sitotoksik,  dan limbah radioaktif.  

Limbah infeksius, biasanya berasal dari prosedur medis tertentu seperti darah, cairan tubuh, seperti air liur, keringat, dan urine yang bisa saja mengandung bakteri, virus, maupun sumber penyakit lain yang bisa menular. Bahan ini dapat dihasilkan dari kegiatan operasi atau pengambilan sampel di laboratorium.

Limbah patologis, yaitu  limbah medis yang berupa jaringan manusia, organ dalam tubuh, maupun bagian-bagian tubuh lainnya. Limbah ini biasanya dihasilkan setelah prosedur operasi dilakukan.

Limbah benda tajam, yaitu alat-alat yang tajam seperti jarum suntik, pisau bedah sekali pakai, maupun silet. Perlakuan untuk limbah medis yang satu ini memang perlu dilakukan dengan sangat hati-hati.

Limbah kimia, yaitu limbah medis yang bersifat kimia seperti cairan reagen yang digunakan untuk tes laboratorium dan sisa cairan disinfektan.

Limbah farmasi, yaitu limbah hasil kegiatan farmasi seperti obat-obatan yang sudah kadaluarsa maupun yang sudah tidak layak dikonsumsi karena adanya kontaminasi.

Limbah sitotoksik, yaitu buangan atau sisa produk dari barang-barang beracun yang sifatnya sangat berbahaya karena bisa memicu kanker hingga menyebabkan mutasi gen. Contohnya obat yang digunakan untuk kemoterapi.

Limbah radioaktif, yaitu limbah yang berasal dari prosedur radiologi, seperti rontgenCT Scan, maupun MRI. Limbah tersebut bisa berupa cairan, alat, maupun bahan lain yang digunakan yang sudah terpapar dan bisa memancarkan gelombang radioaktif.

Limbah biasa, yaitu sebagian besar limbah medis merupakan limbah biasa yang dihasilkan dari kegiatan harian di fasilitas kesehatan rumah sakit, seperti makanan untuk pasien, bungkus plastik alat medis, dan lain-lain.

Risiko dari Limbah Medis

Limbah medis dapat membahayakan kesehatan terutama bagi para petugas medis dan petugas kebersihan rumah sakit. Risiko yang dapat terjadi saat ada kontak dengan limbah medis yaitu luka atau sayatan akibat tertusuk jarum suntik bekas pakai atau pisau bedah bekas pakai, paparan racun yang membahayakan kesehatan, luka bakar kimiawi, peningkatan polusi udara apabila limbah medis dimusnahkan dengan cara dibakar, risiko terkena paparan radiasi berlebih tanpa pengaman, peningkatan risiko penyakit berbahaya seperti HIV dan hepatitis.

Pengelolaan limbah medis

Pengelolaan limbah medis diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Limbah yang termasuk dalam limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan harus diperhatikan tahap-tahap khusus sebelum dibuang, yaitu :

·       Limbah infeksius dan benda tajam perlu melalui proses sterilisasi terlebih dahulu sebelum akhirnya dibakar menggunakan alat khusus dan dibuang.

·       Limbah farmasi padat dalam jumlah besar, harus dikembalikan kepada distributor. Jika jumlahnya kecil, maka harus dihancurkan atau diserahkan ke perusahaan khusus pengolahan limbah B3.

  • Limbah sitotoksik, logam maupun bahan kimiawi harus diolah dengan cara khusus sebelum dibuang. Bila fasilitas kesehatan tidak mampu melakukannya, limbah harus diserahkan kepada perusahaan khusus pengolahan limbah B3.
  • Limbah kimia dalam bentuk cair harus disimpan dalam kontainer yang kuat.
  • Limbah medis yang berbentuk cair tidak boleh dibuang langsung ke saluran pembuangan.

Tantangan Pengelolaan Limbah Medis

Secara umum, pengelolaan limbah medis di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan mulai dari regulasi, kapasitas pengolahan, peran pemerintah daerah, koordinasi antar lembaga, sumber daya manusia, sarana prasarana, perizinan, peran swasta, dan pembiayaan. Kapasitas pengolahan limbah medis belum memadai baik dari segi jumlah maupun distribusi yang belum merata. Jumlah Fasyankes yang mempunyai fasilitas pengolah limbah berizin atau insenerator saat ini masih sangat minim. Kondisi di Provinsi Aceh, dari semua RS yang ada di Aceh, hanya 4% rumah sakit yang memiliki izin insinerator. Sisanya sebanyak 96%, belum memiliki izin pengelolaan limbah sendiri sehingga harus bekerjasama dengan pihak ketiga. Kerjasama dengan pihak ketiga juga mengalami tantangan tersendiri. Permasalahan biaya untuk pengelolaan limbah B3 yang sangat besar. Rata rata limbah medis yang dihasilkan Puskesmas bisa mencapai berkisar 150-250 kg/bulan, sedangkan limbah medis rumah sakit mencapai kisaran 1000-2000 kg/bulan. Besarnya volume limbah medis yang dihasilkan ini mengakibatkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh Fasyankes setiap bulannya. Pengelolaan limbah medis oleh pihak ketiga biasanya diangkut ke Pulau Jawa.  Jauhnya jarak pengangkutan menyebabkan besarnya biaya yang harus dibayarkan oleh Fasyankes dan menyebabkan permasalahan lain yaitu terjadinya penumpukan limbah medis melebihi kapasitas karena lamanya proses pengangkutan serta tempat penyimpanan yang tidak memenuhi standar, sehingga mengakibatkan masalah hukum. Mengingat besarnya biaya pengelolaan limbah medis di Provinsi Aceh, maka hal ini harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Akan lebih efektif dan efisien jika pemerintah daerah dapat melakukan pengelolaan sendiri limbah medis ini dengan menyiapkan sarana dan prasarananya sehingga tidak bergantung kepada pihak ketiga.  Salah satu solusi terbaik dalam pengelolaan limbah di Aceh adalah dengan menerapkan konsep pengelolaan limbah medis berbasis wilayah sesuai amanat Permenkes Nomor 18/2020 tentang Pengelolaan Limbah Medis Fasyankes Berbasis Wilayah. Didalam Permenkes Nomor 18 Tahun 2020 juga dinyatakan bahwa Pengelolaan limbah medis Fasyankes berbasis wilayah memerlukan dukungan sumber daya seperti : 1. Lahan untuk lokasi pengelolaan sesuai ketentuan tata ruang, 2. Sarana dan prasarana dalam pengelolaan limbah medis fasyankes, 3. SDM yamg memiliki pengalaman dan kompetensi dalam pengelolaan limbah, 4. Pendanaan.

Implementasi pengelolaan limbah medis berbasis wilayah memberikan banyak keuntungan diantaranya: 1. Biaya pengelolaan menjadi lebih kecil karena jarak pengangkutan dekat,              2. Mengurangi penumpukan limbah medis di fasyankes, 3. Fasyankes tidak perlu menyediakan tempat penyimpanan khusus (cool storage), karena limbah medis tidak disimpan lama. Untuk menghadapi tantangan pengelolaan limbah medis berbasis wilayah ini sangat dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah, serta koordinasi yang baik dengan setiap stakeholder yang terlibat.  Akhirnya kita berharap agar pengelolaan limbah medis bisa efektif dan efisien maka perencanaan untuk melakukan pengelolaan limbah medis berbasis wilayah yang didukung dengan ketersediaan infrastruktur dan sumber daya manusia dapat dijalankan dengan kerjasama antara pemerintah daerah dengan Fasyankes.

 

*Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

 

Share this post :
 
Design By : Nanggroe WEBdev Powered By e-berita.net