MEMASUKI bulan kedua tahun 2012 ini, kita di Aceh kembali
dihebohkan oleh peristiwa pemerkosaan yang diikuti pembunuhan. Tersangka
berusia 16 tahun, sementara korbannya berumur 4,5 tahun (Serambi,
22/2/2012). Ini tentu menimbulkan pertanyaan besar di benak kita,
mengapa kasus ini bisa dilakukan oleh anak umur 16 tahun?
Menurut
Ekandari Sulistyaningsih, seorang Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta, setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa
mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan. Selama individu
masih mempunyai daya seksual, dari anak-anak hingga kakek-kakek masih
sangat mungkin melakukan perkosaan. Demikian pula dengan korban. Setiap
perempuan dapat menjadi korban dari kasus perkosaan tanpa mengenal usia,
kedudukan, pendidikan, dan status (Buletin Psikologi, 2002).
Dari
berbagai kasus perkosaan, salah satu penyebabnya adalah karena pelaku
terobsesi oleh konten yang mengandung unsur pornografi yang mereka
lihat. Seperti halnya kejadian di Tangerang, Banten, seorang siswi SMP
berusia 14 tahun diperkosa oleh enam siswa sebaya dengannya. Menurut
penyelidikan polisi, tiga pelaku mengaku nekat melakukan tindakan bejat
itu lantaran terobsesi film porno (Tempo.com, 4/2/2012).
Sumber pornografi
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi berarti penggambaran tingkah
laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu
berahi.
Dewasa ini, pornografi bukan barang langka. Dengan uang
seribu rupiah saja, gambar porno sudah bisa dilihat di internet. Tinggal
ketik kata kunci ‘seks’ di mesin pencari, dan dalam sekejab mata
gambar-gambar yang membelalakkan itu pun muncul. Belum lagi sekarang
penggunaan ponsel dengan kemampuan internet sudah sangat jamak di
kalangan remaja bahkan anak-anak. Mirisnya lagi, Kementerian Komunikasi
dan Informatika Republik Indonesia melansir bahwa Indonesia adalah
negara pengakses situs porno terbesar ketiga di dunia setelah China dan
Turki (Kominfo.go.id, 17/2/2012).
Barang-barang yang terkesan
‘aman’ pun kini mulai terjangkit konten porno. Di pasaran, banyak
beredar majalah, koran, bahkan komik dengan gambar-gambar seronok.
Khusus untuk komik, ada jenis komik yang memang khusus menawarkan adegan
seksual sebagai sajian utama. Saya beberapa kali menjumpai anak-anak
umur Sekolah Dasar (SD) di sebuah rental komik di Aceh. Biasanya mereka
pergi dalam kelompok (3-5 orang). Suatu hari saya melihat mereka berdiri
bertumpuk di sudut rental. Membaca sebuah komik dengan cepat. Anehnya,
ketika ada orang yang mendekat, mereka buru-buru meletakkan komik itu di
rak dan beranjak pergi. Setelah saya lihat, ternyata komik porno.
Serangan
konten berbau pornografi tidak berhenti di situ. Tayangan televisi
sekarang juga tidak lepas dari umbaran nafsu. Lihatlah beberapa film,
talkshow, bahkan acara memasak yang “menjual” dada dan paha. Belum lagi
tayangan itu disiarkan pada waktu keluarga yang membuat anak kita dengan
mudah menontonnya.
Sepertinya jika membahas tentang sumber
pornografi tidak pernah ada habisnya. Banyak sumber-sumber lain yang
siap meneror generasi kita.
Solusi
Apapun ceritanya,
generasi muda kita harus diselamatkan dari pornografi. Tentunya kita
tidak mau masa depan kita dihuni oleh orang-orang berpikiran porno dan
mesum. Kita harus menyadari bahwa remaja adalah saat-saat di mana
pikiran labil dan rasa ingin tahu memuncak. Semakin dilarang melakukan
sesuatu, mereka semakin ingin melakukannya. Oleh karena itu, hal pertama
yang harus dilakukan adalah memberikan edukasi mengenai dampak negatif
pornografi.
Selain dapat memicu gejolak syahwat, ternyata
pornografi juga dapat memicu kerusakan otak. Ahli bedah syaraf dari RS
San Antonio, Amerika Serikat, Donald L Hilton Jr, mengatakan pornografi
dapat menyebabkan kekacauan kerja neurotransmiter, yakni zat kimia otak
yang berfungsi sebagai pengirim pesan. Bahkan, kerusakan otak yang
diakibatkan konsumsi pornografi, katanya, lebih parah ketimbang efek
kecanduan kokain: otak jadi sulit menyimpan memori dan mengontrol
prilaku (Inilah.com, 2009).
Tentunya, persoalan kerusakan otak di
atas bisa dikaitkan dengan kesulitan belajar. Bayangkan saja, bagaimana
seseorang bisa belajar jika otaknya dipenuhi oleh gambar-gambar vulgar?
Belum lagi persoalan pergaulannya di tengah masyarakat. Bersosialisasi
akan semakin sulit jika fantasi mengenai hal-hal erotis terus berputar
di dalam kepala.
Selain itu, kita bisa memberi tahu mereka
mengenai sanksi religius apabila mereka melihat konten-konten porno.
Tentunya, dengan penjelasan yang menarik, diharapkan mereka bisa
mengerti akan besarnya dosa seseorang yang mengonsumsi “gambar polos”
itu.
Setelah mereka paham akan dampak mengerikan pornografi.
Kita bisa memberikan bimbingan dan pengawasan lebih lanjut. Sedapatnya
kita menjauhkan anak-anak kita dari segala hal yang berbau pornografi.
Kita harus memilih tayangan apa yang mereka tonton, majalah apa yang
mereka baca, bahkan sekarang sudah tersedia perangkat lunak (software)
untuk menyetop akses terhadap situs porno.
Diperlukan kerjasama
semua pihak untuk melindungi generasi muda kita dari pornografi.
Pemerintah, ulama, orang tua, guru, polisi, penyelenggara media,
semuanya memiliki kewajiban. Kita tentu tidak bisa 24 jam mengontrol
mereka. Ada saatnya mereka berada di luar rumah, jauh dari pengawasan.
Saat itulah iman mereka diuji. Dan semoga mereka dapat mengalahkan setan
pornografi!
* Muhammad Haekal, Mahasiswa IAIN Ar-Raniry/Alumnus Muharram Journalism College (MJC) AJI Banda Aceh.