Di Aceh na alam peudeung,
Cap sikureung bak jaroe raja,
Phon di Aceh troh u Pahang,
Tan soe teuntang Iskandar Muda,
Bangsa Portugis angkatan meugah,
Laju geupinah di Aceh raya
U Melaka keudeh di piyoh,
Keunan pih troh geupicrok teuma.
SAMPAI hari ini, nadham Aceh di atas, masih dinyanyikan masyarakat Aceh, untuk mengambarkan betapa sulitnya penjajah menduduki tanah rencong ini. Namun, awal dari kalimat di atas adalah simbol pemersatu rakyat Aceh yaitu “alam peudeung” yang dimaknai sebagai Bendera Aceh. Sejauh pengetahuan saya, hampir seluruh kerajaan di Indonesia memiliki bandera kebesaran mereka.
Tidak terkecuali bandera Kerajaan Mataram yang sampai hari ini masih dikibarkan di Yogyakarta dan sering dijadikan sebagai simbol kerajaan saat kirab para pembesar kerajaan tersebut. Perihal bandera dalam sejarah Nusantara memang tidak pernah dipermasalahkan, kecuali simbol-simbol tersebut berupaya menghalangi jatidiri bangsa Indonesia yaitu simbol komunis.
Alasan utama saya menampilkan nadham di atas berikut dengan tafsir mengenai bandera di Nusantara karena adanya opini M Nur Juli, di Serambi Indonesia (18/04/2011) dan berita di harian ini pada 17 April 2011, bendera GAM Dikibarkan di Persawahan Pulo Pisang, sehingga ini sedikit menyentil suasana damai yang telah dibangun selama 5 tahun terakhir. Namun, dalam dataran akademik, persoalan bendera Aceh bukanlah hal yang baru. Artikel singkat ini berupaya untuk menelaah lebih lanjut tentang bendera Aceh ini yang dalam sejarah lebih dikenal dengan “alam Aceh.”
M Nur Juli menyebutkan, yang menimbulkan masalah sekarang tampaknya adalah anggapan bahwa bendera bergaris merah, hitam dan putih dihiasi bulan bintang itu sebagai “Bendera GAM”. Ini anggapan keliru. GAM tidak punya bendera sendiri; yang digunakan GAM di masa konflik adalah bendera Aceh, yang telah wujud ratusan tahun.
Bendera itu hampir sama dengan bendera Turki. Dalam hal ini, salah satu kajian yang paling komprehensif adalah karya Anthony Reid (2005) mengenai pengaruh Turki Utsmani, termasuk penggunaan bandera mereka di bumi Serambi Mekkah. GAM lahir pada tanggal 4 Desember 1976, sedangkan sejarah penggunaan bandera tersebut telah dimulai ratusan tahun yang lalu. Dengan kata lain, bandera Aceh adalah warisan sejarah dan identitas wangsa Aceh, serta tidak ada kait mengait dengan GAM.
Marsden pernah mengatakan dalam “The History of Sumatra”, bahwa Aceh adalah satu satunya kerajaan Islam di Nusantara yang pernah meraih kemajuan politik dalam pandangan orang barat. Karena berbagai “transaksi yang ia lakukan telah menjadi pembahasan sejarah. Dengan kekuatan ini, Portugis tidak mampu menancapkan kaki di Aceh dan para sultannya menerima banyak tamu dari pengusasa Eropa” (Amirul Hadi: 2010). Caroline Finkel dalam bukunya “The Story of the Ottoman Empire 1300-1923” mengatakan, “Muslim sultanate of Aceh, when threatened by Portuguese expansionism, sought Ottoman assistance. The Ottoman troops were sent to aid the sultan against the Portuguese in 1537, 1547, 1566 Aceh formally requested the protection of the Ottomans. The Ottomans fleet set out from Suez to aid Aceh, and the Ottomans flag used by the sultanate of Aceh.” (Caroline Finkel: 2005). Inilah hubungan persaudaraan antara Turki dan Aceh yang sampai hari ini masih diinginkan berlanjut, khususnya dalam hubungan pendidikan dan kebudayaan.
Maka tidak heran, bendera resmi kerajaan Aceh adalah dasar merah dengan bulan bintang di tengah sebagai simbol Islam sama seperti Turki dan ini juga menunjukkan bahwa kerajaan Aceh berlandaskan Alquran dan Alhadist. Sedangkan pedang merupakan lambang kedaulatan Aceh dan juga menunjukkan sifat orang Aceh yang tegas dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Ada istilah di Aceh hudep saree matee shahid, salah narit peudeung peuteupat, salah seunambat teupeuroe dumna. Penambahan pedang ini sebagai sifat orang Aceh diletakkan di bawah bintang bulan. Jadi kesamaan bendera Turki dengan “alam peudeung” Aceh diakibatkan hubungan Aceh dan Turki begitu harmonis tempo dulu. Hasan Tiro, mengambil bendera ini sebagai bendera Aceh Merdeka dan menambahkan dua garis hitam di tepinya untuk melambangkan para syuhada. Para syuhada ini adalah yang korban dalam peperangan kemerdekaan Aceh melawan Belanda dan Jepang.
Adapun mengenai penggunaan bandera Aceh, Ahtisari sendiri dalam buku “Ahtisari and Aceh” (Katri Merikallio: 2006) mengakui Aceh punya hak untuk menggunakan bendera simbol dan himne sendiri. Dan ini telah dituangkan dalam MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.
Dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No 11 tahun 2006 mengenai bendera dinyatakan di dalam pasal 246; (1) Bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan. (3) Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Ketentuan ini merupakan salah satu bentuk kompromi antara pemerintah Indonesia dan GAM yang melihat pentingnya pengaturan simbol dan identitas baik bagi RI maupun bagi Aceh. Bendera Aceh akan menegaskan identitas kekhususan Aceh yang memang sepatutnya diarahkan menjadi gerakan nasionalisme kultural yang damai dan demokratis dalam rangka pencarian sebuah dukungan menjadi a nation without state. Dengan kibaran dua bendera di Aceh, diharapkan ke depan konflik bendera tidak akan muncul lagi di negeri yang pernah menjadi pengemban amanah daulah islamiayah di Asia tenggara ini bersama Turki Usmani di Eropa dan Asia Tengah, bani fathimiyah di Afrika Utara, Isfahan di Timur Tengah dan Moghul di Asia Selatan.
Pemerintah Aceh dan DPRA perlu segera mengeluarkan aturan tentang simbol dan bendera Aceh sekaligus tentang protokoler pengibarannya sebagaimanhttp://www.blogger.com/img/blank.gifa amanat MoU Helsinki dan pasal 246 ayat 2 Undang-Undang Pemerintahan Aceh No 11 tahun 2006. Hal ini akan memberi dua dampak terhadap hubungan Aceh dengan Indonesia. Pertama, Aceh menghormati simbol Indonesia di Aceh yang direpresentasikan oleh bendera merah putih dan hanya akan menggunakan bendera tersebut sesuai dengan ketentuan hukum RI yang mengaturnya. Kedua, Aceh memiliki kewenangan untuk mengibarkan bendera sendiri sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Aceh. Karena salah satu faktor yang mendasari konflik bendera ini adalah aspek hukum, otoritas, dan etika.
Terakhir, saya mengajak agar semua elemen di Aceh bisa menghormati simbol-simbol ke-Aceh-an dan ke-Indonesia-an. Karena dengan saling menghormati, maka situasi damai bisa dipertahankan.
Penulis : M Adli Abdullah-Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.