Bahasa Aceh sebenarnya merupakan bahasa yang diadopsi dari bahasa negara lain. Selain bahasa Aceh, beberapa suku di Aceh juga mempunyai bahasa ibu yang berbeda seperti bahasa Jamee yang mirip dengan bahasa Minang, dan juga Bahasa Gayo. Tetapi sebagian besar masyarakat Aceh tetap memakai bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Aceh merupakan bagian dari bahasa Melayu dan Polynesia Barat yang merupakan cabang dari keluarga bahasa Austronesia (kalau ditanyakan bagaimana bahasa Austronesia itu seperti apa, saya juga sebenarnya tidak tahu, hehehe….Kebiasaanya adalah ketika seseorang sudah fasih dalam berbahasa Aceh, maka logat bahasa yang ditampilkan akan sangat mirip dengan orang Bali. Jadi, jangan pernah heran jika Beswan Djarum Aceh bertemu dengan Beswan Djarum Bali dalam even nasional ataupun softskill yang dilaksanakan oleh Djarum Beasiswa Plus, maka logat yang digunakan keduanya pasti hampir sama. Ya walaupun tidak semua pastinya, tapi aku yakin fenomena ini bisa dilihat persamaannya pada 1 atau 2 orang.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Aceh termasuk salah satu bahasa di Indonesia yang sangat susah untuk pelafalan dan penulisannya. Ya, ini ungkapan dari mereka yang bukan merupakan warga Aceh. Setidaknya Afghan, penyanyi solo Indonesia ini mengakui bahwa baginya menyanyi dengan bahasa Aceh merupakan hal yang sulit dibandingkan ia harus menyanyikan lagu daerah dengan bahasa daerah yang lain. Jangankan itu, orang Aceh saja pasti sudah sangat sering mendengar kalimat ini “Bahasa Aceh lagee bahasa Inggreh, laen ta baca laen ta tuleh”, yang artinya bahasa Aceh itu seperti bahasa Inggris, lain dibaca maka lain ditulis. Hohoho…. Orang Aceh saja masih beranggapan begitu, bagaimana dengan orang yang di luar Aceh yang tidak mengetahui sama sekali bahasa Aceh. Tidak heran rasanya jika teman-temanku yang berasal dari luar Aceh jika mendengar aku berbahasa Aceh, maka mereka akan tertawa sejenak karena bahasa Aceh bagi mereka merupakan bahasa yang termasuk ke dalam bahasa yang sangat jarang bahkan tidak pernah mereka dengar sebelumnya. Bunyi bahasa Aceh itu seperti bahasa India, tetapi terkadang hampir mirip dengan bahasa Thailand atau bagaimana, aku juga tidak mengerti. Namun begitulah tafsiran dari teman-temanku yang berasal dari luar Aceh. Nah, karena pengucapan bahasa Aceh yang sangat susah, tidak heran jika di even-even nasional yang sering menghadirkan tarian Aceh seperti Tari Saman, biasanya aku akan sedikit aneh jika mendengar lagu-lagu tarian tersebut dibawakan untuk mengiringi tarian tersebut. Banyak bahasa Aceh yang pengucapannya salah dilafalkan, dan ini membuat aku begitu prihatin. Ketika tarian Saman semakin cemerlang keberadaannya, tapi mengapa malah bahasa Aceh yang mengiringi tarian itu semakin tidak jelas apa artinya? Ya karena tidak jelas pengucapannya, mungkin begitu alasan yang paling mengena.
Pada kenyataannya, keadaan ini diperparah dengan semakin banyaknya orang Aceh tapi tak bisa berbahasa Aceh. Untuk saat sekarang ini, pemakaian bahasa Aceh yang masil full hanya bisa kita dapatkan di daerah-daerah pedesaan. Di ibukota provinsi pun, penggunaan bahasa Aceh semakin jarang untuk kita dengar, bahkan di lingkungan anak muda Aceh timbul suatu ejekan “kolot” jika masih ada anak muda Aceh yang memakai bahasa “gaul” mereka dengan bahasa Aceh. Mereka akan diejek dengan kata-kata “kampungan”. Jadi sekarang ini lebih banyak dari mereka memakai kata “Loe-Gue”, supaya tetap dicap sebagai anak gaul. Sepertinya kesan bahwa Monas telah pindah ke Aceh akan benar adanya, jika melihat semakin banyaknya anak muda di Aceh yang berbahasa memakai bahasa “anak gedongan”. Apresiasi terhadap bahasa Aceh semakin kurang terasa.
Padahal sebenarnya bahasa Aceh itu mudah lho. Bahasa Aceh merupakan bahasa yang hanya dengan 5 huruf vokal saja sudah tahu apa artinya. Tidak percaya? Silahkan buktikan sendiri.
A= kakak. Contohnya: “Bek meuloe ngon a droe!” (Jangan bertengkar dengan kakakmu sendiri!).Beneran mudah kan? Jadi bahasa Aceh tidak sesusah yang orang katakan kok. Memang sih ada konsonan-konsonan khusus lainnya dalam bahasa Aceh, ya hampir-hampir seperti pengucapan konsonan huruf “E” lah dalam bahasa Indonesia, seperti antara pengucapan “enau” dan “ember”, mungkin karena faktor ini juga sehingga bahasa Aceh agak sulit untuk diucap. Tetapi, pada dasarnya nggak sesulit yang dibanyangkan kok.
I= air. Contohnya: “ I laot ka di ek.” (air laut sudah naik).
U= kelapa. Contohnya: “Boh u that raya.” (Buah kelapa sangat besar).
E= naik. Contohnya: “Bek ka e keunan..” (Jangan naik kesitu).
O= bohong. Contohnya dalam kalimat “Bek lee that o keuh!!” (Jangan banyak kali bohong kau!!).
Semakin memudarnya bahasa Aceh di lingkungan orang Aceh sendiri tidak terlepas dari campur tangan globalisasi yang semakin meluas. Kita sebagai aktor yang mengikuti perkembangan arus tersebut juga tidak bisa menyalahkan globalisasi, karena sudah menjadi kodrat bagi dunia akan mengalami kemajuan yang semakin lama akan semakin pesat sesuai dengan tuanya umur dunia, dan sumber daya manusia akan terus disiapkan untuk dapat bersaing dengan keinginan zaman. Mungkin inilah yang menjadi alasan utama di lingkungan keluarga orang Aceh yang semakin minim mengajarkan anaknya untuk berbahasa Aceh. Hanya karena takut ketika nantinya si anak sudah beranjak lebih dewasa, ia akan sulit beradaptasi dan memahami berbagai bahasa lainnya dan akan membuatnya menjadi anak yang tidak siap mengikuti persaingan zaman. Bahkan di sekolah-sekolah unggul ataupun pesantren dilarang untuk berbahasa Aceh, dan harus selalu menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Paling tidak hal inilah yang aku rasakan. Aku hidup dalam keluarga yang semuanya berbahasa Indonesia, padahal kedua orang tuaku adalah orang Aceh tulen. Aku tidak diajarkan bahasa Aceh dari kecil karena ketakutan orang tuaku terhadap apa yang aku jelaskan tadi di atas. Aku menghabiskan waktu kecilku di sebuah kota kecil di daerah Aceh yang notabene-nya merupakan kota bagi para pendatang dari daerah Aceh lainnya dan di luar Aceh. Dapat dipastikan, baik di lingkungan sekolahku, rumah ataupun masyarakat semuanya berbahasa Indonesia. Dulu jika ada guruku yang mengajarkan sebuah mata pelajaran dengan menggunakan bahasa Aceh, aku dan teman-temanku bingung dan pasti mengatakan secara diam-diam bahwa itu kampungan. Alhasil, sampai saat ini tidak akan ada yang percaya bahwa aku adalah orang Aceh, karena eksen logat bicaraku seperti orang yang berasal dari luar Aceh saja. Satu-satunya percakapan bahasa Aceh yang bisa ku dengar, saat ibu dan ayahku berkomunikasi, tapi tidak denganku. Ini menyebabkan aku hanya bisa mendengarkan bahasa Aceh secara pasif tanpa bisa melafalkannya dengan baik hingga umurku 15 tahun.
Sampai pada akhirnya aku pindah ke daerah lain dan orang tuaku menyekolahkanku ke sekolah yang sangat pedesaan. “Shock culture“, itu yang ku rasakan. Di sekolah yang baru semua berbalik 180 derajat. Semua teman, guru, lingkungan sekolah dan masyarakat semua berbahasa Aceh. Tanpa adanya “shock culture” yang terjadi tersebut, kemungkinan sampai sekarang pun aku tidak akan fasih berbahasa Aceh.
Selain itu, pelajaran Bahasa Aceh hanya diajarkan sampai pada sekolah dasar saja, selebihnya di jenjang pendidikan lainnya tidak akan lagi ditemukan pelajaran Bahasa Aceh. Di universitas negeri tempatku belajar saat ini pun belum ada jurusan untuk bahasa Aceh. Lagi-lagi ini yang membuatku iri dengan daerah lain. Di pulau Jawa, bahkan ada beberapa universitas yang membuka jurusan khusus untuk mahasiswa program bahasa Sunda atau bahasa Jawa, sedangkan di Aceh belum ada sama sekali.
Aceh boleh saja mengikuti arus globalisasi yang semakin pesat, tapi bukan berarti dengan begitu harus menghilangkan ciri khas budaya sendiri kan? Bahasa adalah identitas. Apa jadinya jika identitas itu hilang di tangan seseorang yang seharusnya menjaga identitas tersebut. Masa iya orang Aceh bisa kalah dengan Jono, artis bule’ dari Inggris ini yang bisa berbahasa Aceh?
Yang diperlukan sekarang adalah keseimbangan. Jadi selain tetap mengajarkan generasi muda bahasa Aceh, mereka juga diajarkan bahasa lainnya, sehingga para orang tua tidak perlu takut jika anak yang diajarkan bahasa Aceh dalam lingkungan keluarganya akan menjadi anak yang berbahasa ATT (Aceh Tok-Tok) atau Aceh Medok (kalau istilah Jawanya). Terkadang aku berpikir, bisa tidak ya kalau keberadaan bahasa Aceh menjadi seperti bahasa Thailand dan Jepang yang selalu diberikan apresiasi yang tinggi oleh masyarakatnya. Sehingga jika pun ada tamu yang datang ke daerah mereka, bukan mereka yang harus beradaptasi dengan bahasa tamu tersebut, tapi malah sebaliknya.Saat ini, di antaranya banyaknya “orang Aceh” yang mungkin hampir lupa dengan bahasa Aceh, di luar sana juga ada Awak Nanggroe (orang Aceh) yang masih sangat peduli dengan bahasa Aceh. Setelah Tsunami, di tempat-tempat umum seperti swalayan, kantor-kantor pemerintahan, stasiun bus dan sebagainya sudah mulai menggalakkan adanya tulisan di pamflet-pamflet yang memakai bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Aceh tentunya. Seperti kata “Terima Kasih”, yang dialam bahasa Inggris yaitu “Thanks“, maka ditulis juga dengan bahasa Aceh dengan kata-kata “Teurimong Geunaseh”. Atau kata-kata di tempat parkiran adanya tanda “Keluar” yang dalam bahasa Inggris ditulis “Exit”, maka juga dituliskan bahasa Acehnya yaitu “Teubit”. Ini membuktikan masih ada masyarakat Aceh yang ingin tetap melestarikan bahasa, tidak hanya untuk bahasa Aceh tetapi juga bahasa lainnya.
Sekarang pun dapat dilihat di stasiun televisi swasta daerah sudah banyak program berita televisi dan program acara lainnya yang dibawakan dalam bahasa Aceh. Tidak hanya itu, untuk souvenir-souvenir trendy dari Aceh pun seperti kaos, pin dan lain-lain juga banyak yang ditulis dalam bahasa Aceh. Seperti contoh desain kaos di bawah ini.
Nah, tetap gaul kan? Tidak hanya itu, setelah adanya program Visit Banda Aceh 2011, Pemerintah Kota Banda Aceh juga mengadakan pemilihan Miss Aceh Fair, uniknya pun dalam pemilihan Miss Aceh Fair selain semua kontestan harus tahu tentang seluk beluk Aceh, saat dilakukan wawancara hingga tanya jawab dengan para juri pun juga memakai bahasa Aceh.
Selain itu, saat ini masyarakat Aceh sudah bisa menikmati adanya situs Wikipedia dalam bahasa Aceh, ini berkat hasil usaha beberapa anak muda Aceh yang berhasil bekerja sama dengan owner situs Wikipedia sehingga terbitlah Wikipedia dalam bahasa Aceh. Wah senangnya, bisa searching segala hal tapi tetap bisa menggunakan bahasa Aceh.
Hmm, mudah-mudahan untuk ke depannya akan ada juga di Google Translate yang dapat menerjemahkan semua bahasa ke dalam bahasa Aceh. Hehe… Semua ini adalah bentuk usaha untuk pelestarian bahasa, Kawan! Dan semoga saja orang Aceh akan meng”Aceh”kan lagi dirinya dengan tetap setia terhadap bahasa Aceh sehingga kepunahan bahasa Aceh dapat kita hindari bersama. Karena tetap saja, tidak ada yang bisa menjaga identitas suatu suku bangsa, selain suku bangsa itu sendiri yang menjaganya.
Krue Semangat Ureung Aceh!!!
Referensi:
1. Dimila, M. 2011. Dilarang Berbahasa Aceh. harian-aceh.com. 07 Juni 2011.
2. Lubis, M. 2010. Bahasa Aceh Memang Rumit. acehinstitut.org. 07 September 2010.
3. m1qbal.wordpress.com. 01 Mei 2009.
(http://blog.djarumbeasiswaplus.org)