Cut Nyak Din, Kisah Ratu Perang Aceh
Written By News and Fun on Saturday, 14 April 2012 | 21:10
“Di tempat itu arwah Umar akan menyertai kita! Dari sana jugalah kita akan memenuhi tugas-tugas kegerilyaan kita seperti yang biasa dilakukan oleh Umar. Kita akan memenuhi perintah Tuhan untuk memerangi orang kafir, Pang La’ot! Selama aku masih hidup kita masih memiliki kekuatan, perang geriliya ini akan kita teruskan! Demi Allah! Polim masih hidup! Bait hidup! Imam Longbata hidup! Sultan Daud hidup! Tuanku Hasyim hidup! Menantuku, Teuku Majet di Tiro masih hidup! Anakku Cut Gambang masih hidup! Ulama Tanah Abee hidup! Pang La’ot hidup! Kita semua masih hidup! Belum ada yang kalah! Umar memang telah Syahid! Marilah kita meneruskan pekerjaannya! Untuk Agama! Untuk kemerdekaan bangsa kita! Untuk Aceh! Allahu Akbar!”
Waaaahhh.. Baca kalimat diatas bikin saya merinding! Dalam buku ini Cut Nyak Din mengucapkan kalimat di atas setelah menerima kabar bahwa suaminya Teuku Umar telah gugur di medan perang. Beliau berhasil meneguhkan hati karena menyadari bahwa sekarang dirinya harus menjadi kuat demi cita-cita perjuangan yang telah mengugurkan banyak nyawa. Maka Cut Nyak Din menyisihkan perasaan sedihnya karena kehilangan suami yang dicintainya. Merinding.
Cut Nyak Din adalah putri keluarga terkemuka di Aceh, Ayahnya Nanta Setia adalah seorang Ulubalang di wilayah 6 mukim (mukim: desa yang terdiri atas kampung-kampung masjid, 6 mukim berarti wilayah tersebut terdiri dari 6 desa). Pada tahun 1858 beliau dinikahkan dengan Teuku Ibrahim pada waktu berumur 10 tahun.
“Cut Nyak Din dan Teuku Ibrahim adalah anak Aceh yang mencintai bangsa dan tanah airnya, teristimewa, Agamanya.”
Sebagaimana ditulis dalam buku, dinyatakan bahwa walaupun dijodohkan. Mereka belajar bersama arti berumah tangga sehingga lama kelamaan timbul rasa saling mengasihi.
Tanggal 8 April 1873 bala tentara Belanda mendarat di Tanah Aceh. Teuku Ibrahim adalah salah satu pemimpin perlawanan terhadap Belanda yang sangat dihormati rakyat. Ketika peperangan memasuki wilayah 6 mukim, Teuku Ibrahim berada sebagai pemimpin barisan, diikuti oleh para pemuda dengan semangat berkobar untuk melawan tentara Belanda. Cut Nyak Din, para wanita dan anak-anak mengungsi dari Lampadang, kampung tempat mereka tinggal.
Di pengungsian Cut Nyak Din menerima berita bahwa suaminya gugur. Di tengah perasaan bingung dan kehilangan pegangan karena gugurnya Teuku Ibrahim, munculah sepupunya Teuku Umar yang tangkas dan berani menawarkan bantuan untuk membela wilayah 6 mukim. Din mencari tokoh yang dapat menggantikan kepemimpinan perlawanan. Di mata beliau pada saat itu tidak ada seorang pun yang cukup mumpuni untuk menggantikan Teuku Ibrahim. Munculnya Umar adalah jawaban bagi Cut Nyak Din.
“Tak disangka-sangka dalam kalbu Din tersedia tempat untuk Umar. Saudara sepupunya itu dianggap cukup memiliki sifat-sifat satria dalam dirinya. Pilihan hati Din pun jatuh pada Umar. Umar itulah yang diharapkan dapat dijadikan kawan seperjuangan di masa-masa yang akan datang. Umar diharapkan menjadi pengganti kawan seperjuangan yang hilang.”
Menikahlah Cut Nyak Din dengan Teuku Umar. Walaupun berstatus sebagai istri ketiga namun berbagai pihak mengakui bahwa Cut Nyak Din lah orang yang paling berpengaruh dalam perkembangan Umar selanjutnya.
Teuku Umar sendiri merupakan tokoh yang kontroversial. Banyak asumsi dan prasangka seputar diri Teuku Umar. Karena siasat menyerah pada pihak Belanda timbul banyak sekali pendapat mengenai Umar. Ada yang percaya bahwa Umar betul-betul berpura-pura menyerah dan ada yang berpendapat bahwa Umar seorang oportunis yang bertindak sesuai dengan keadaan.
Apapun motivasi Teuku Umar untuk menyerah dan bekerjasama dengan Belanda, pada akhirnya Teuku Umar menghianati pihak Belanda dengan membawa serta persediaan persenjataan dan amunisi yang tidak sedikit jumlahnya kepada pihak Aceh. Dan semenjak saat itu Teuku Umar menjadi pejuang paling berani yang memimpin perlawanan Aceh terhadap Belanda. Kiprah Teuku Umar membuat pihak Belanda menganggap bahwa untuk meredam perlawanan orang nomor satu yang harus mereka bunuh adalah Teuku Umar.
Selang beberapa waktu, Syahid pula lah Teuku Umar. Dan Cut Nyak Din menyatakan akan memimpin dan meneruskan perjuangan suaminya, sebagaimana dikutip pada awal review ini. Enam tahun setelah mempimpin geriliya Cut Nyak Din telah berada dalam kondisi tidak sehat. Matanya telah buta dan penyakit encok telah melemahkan gerak anggota tubuhnya. Seorang pengikutnya yang paling setia Pang La’ot akhirnya tidak sampai hati melihat kondisi Cut Nyak Din. Dan di saat itu hampir seluruh pejuang, bahkan Polim pun telah tunduk pada Belanda. Dengan motivasi ingin menyelamatkan Cut Nyak Din dari penderitaan akhirnya Pang La’ot mengadakan perundingan dengan Belanda.
Mereka akan menyerah asalkan Cut Nyak Din diperlakukan secara terhormat, dirawat dan diobati segala penyakit-penyakitnya. Belanda setuju, Cut Nyak Din, walaupun dengan sumpah serapah akhirnya dibawa oleh Belanda. Tadinya Cut Nyak Din akan dibiarkan tinggal di Aceh, namun melihat animo masyarakat yang tidak berhenti menjenguk pemerintah Belanda merasa khawatir akan keberadaan Cut Nyak Din. Khawatir keberadaan tokoh yang amat sangat disegani itu dapat kembali mengobarkan api perlawanan rakyat Aceh.
Akhirnya Cut Nyak Din dibuang ke Sumedang Jawa Barat. Di tanah asing itulah Cut Nyak Din menghembuskan nafas terakhirnya. Dan sampai saat terakhir masyarakat Sumedang tidak mengetahui jati diri wanita tua penuh kharisma yang mereka panggil Ibu Perbu.
Membaca buku ini serasa memanggil nama-nama dalam ingatan yang dihafal ketika masa sekolah dulu. Dan membuat saya mengerti mengapa semangat pantang menyerah itu bisa muncul.Mengerti apa yang dibela para pejuang yang mempertaruhkan nyawanya. Dan mensyukuri detik ini saya bisa menikmati apa yang bisa saya nikmati.
Selain semangat perjuangan kita juga bisa mempelajari banyak tokoh dengan karakter yang sampai detik ini dan sampai kapan pun akan selalu ada. Manusia oportunis, manusia hipokrit, quitter, bermuka dua dan aneka ria jenis lainnya.
Saya berharap lebih banyak cerita ketika Cut Nyak Din selama enam tahun memimpin gerilya. Atau ketika beliau berada dalam pengasingan di Sumedang. Namun memang tidak banyak catatan sejarah tentang masa-masa itu.
Dan tentang Cut Nyak Din sendiri. Wanita luar biasa dengan hati seteguh karang dalam mempertahankan kebenaran. Wanita yang dengan berani membuang semua atributnya dan ikut langsung memimpin perlawanan demi tanah airnya, demi Agamanya. What more can I say? She’s simply a bright star.
“Menurut orang Belanda, perang telah berakhir. Akan tetapi bagi orang Aceh yang pantang tunduk, perang masih jauh dari selesai.”
Label:
Aceh