Banda Aceh – Persoalan penyegelan gereja di Kabupaten Aceh Singkil terus berkembang luas. Kepada The Globe Journal, Pj. Bupati Aceh Singkil, Razali akhirnya angkat bicara. Jum’at (11/6) usai mendampingi Kapolda Aceh kopi moorning di Ulee Lheu Cafe, Razali menolak untuk diwawancarai wartawan terkait hal itu.
“Aduh panjang sekali ceritanya, nanti usai shalat Jum’at kita duduk bicara soal ini,” kata Razali sembari memberikan nomor telepon selular untuk mengingatkannya jelang siang nanti.
Usai shalat Jum’at, selulernya tidak aktif. Namun usai pemberian program penghargaan dan penyerahan e-KTP oleh Mendagri kepada Pemerintah Kabupaten Kota di Aceh, Pj. Bupati Aceh Singkil ini akhirnya angkat bicara terkait penyegelan gereja tersebut.
Saat ditemui The Globe Journal, di Anjongan Monmata Pendopo Gubernur Aceh, Ia bercerita kisah puluhan itu. Berawal dari keresahan masyarakat, pada tahun 1979 terjadi bentrok berdarah antara kaum Muslim dengan Nasrani, karena waktu itu ada pengembangan gereja. Sehingga didamaikan dengan potong kerbau.
"Lalu kemudian timbul kesepakatan antara Muslim dan Nasrani waktu tahun 1979 itu. Diberilah toleransi satu gereja dengan empat undung-undung kecil. Seperti mushalla,” katanya.
Lokasinya ada di Simpang kiri dan Gunung Meriah, Aceh Singkil.
Masalah ini sudah puluhan tahun, namun sekarang undung-undung yang kecil ini dikembangkan menjadi 24 unit.
“Undung-undung yang kecil itu tadi diubah besar dengan beton dan ditambah kayu tanpa izin, memang semuanya tidak ada izin hanya kesepakatan dulu,” pungkas Razali.
Ada protes diam-diam dari masyarakat yang menurut masyarakat bahwa Aceh adalah daerah Syariat Islam kenapa bisa berkembang undung-undung tersebut.
Lalu dua minggu sebelumnya, dilantik Front Pembela Islam (FPI).
“Keresahan itu dimotori oleh Forum Umat Islam yang di dalamnya ada FPI,” kata Razali. Lalu forum ke Muspida dan meminta agar undung-undung itu dibongkar, bakarlah dan lain-lain.
“Saya di Banda Aceh waktu itu, dan berbicara dengan forum itu melalui telpon,” akui Razali.
Kemudian Muspida Singkil duduk, termasuk ada Kapolres Singkil. Lalu kami menghimbau agar jangan anarkis dan jangan hancurkan gereja itu. Maka untuk menghindari bentrok fisik, kehancuran dan bentrok berdarah maka Pemerintah Aceh Singkil mengambil sikap untuk segel gereja-gereja tersebut dengan tujuan untuk menyelamatkan dari bayang-bayang anarkis ini.
“Proses penyegelan ini saya lapor ke Provinsi Aceh kepada pihak terkait juga kepada MPU agar ada payung hukumnya,” tandas Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Aceh ini.
Saat ditanya kapan berakhirnya penyegelan gereja itu, Razali mengatakan sampai ada payung hukum.
“Kita desak agar dua bulan ini ada payung hukumnya atau semacam Pergub,” harap Razali.
Ia mengakui bahwa tidak ada standar berapa gereja untuk masing-masing kabupaten kota di Aceh. Namun kalau dulu ada kesepakatan satu gereja dengan empat undung-undung untuk satu kabupaten.
“Maka harus ada payung hukumnya yang memberikan ruang dan membatasi mana yang boleh dan yang tidak boleh,” ujarnya sembari mengatakan Aceh adalah daerah Syariat Islam.
Penyegelan gereja ini untuk menyelamatkan, supaya jangan terjadi bentrok berdarah. Bahkan dari pihak Nasrani juga menanyakan hal itu. Namun kita jelaskan bahwa Aceh adalah daerah Syariat Islam, bahwa ruang untuk non muslim itu tetap ada.
“Kita susah untuk menyampaikan ke publik, maka pemahaman saja-lah,” Demikian Pj. Bupati Aceh Singkil, Razali.
The Globe Journal,