Headlines News :
Home » , » Jihad, Separatis atau hanya Politis?

Jihad, Separatis atau hanya Politis?

Written By News and Fun on Sunday, 6 May 2012 | 01:24

133498032088964596
Pasca berlangsungnya pesta demokrasi Aceh kedua yang berjalan lancar dan aman, isu terror yang mengancam sepanjang proses pemilukada maupun gejolak yang sangat mungkin terjadi setelahnya masih menjadi ancaman bagi keselamatan rakyat Aceh, pun demikian halnya bagi kelangsungan perdamaian di Serambi Mekah. Polisi memang telah menangkap sebagian pelaku terror tersebut, namun hingga saat ini polisi terkesan belum berani mengungkap motif ataupun “pesan” di balik aksi-aksi terror yang dilakukan, Jihad, Separatis ataukah hanya bersifat persaingan politik dan kekuasaan?
Memang sulit untuk menilai arah dan tujuan dari aksi-aksi terror yang terjadi di Aceh. Sebagian kalangan berpendapat bahwa hal tersebut terkait dengan pemilukada yang digelar 9 April yang lalu, namun polisi seolah enggan mengkaitkan hal tersebut meskipun fakta di lapangan sangat gamblang menggambarkannya sehingga berdalih dengan penilaian aksi terror yang terjadi sebagai aksi kriminal murni.
Tetapi, polisi juga tampaknya “gerah” dengan berbagai kritik masyarakat  terhadap institusinya terkait penanganan terror di Aceh yang terkesan kurang “tegas” dan cenderung adanya pembiaran (atau mungkin juga takut) maka pada Sabtu 14 April 2012 atau 5 hari pasca pemilukada tim gabungan densus 88 dan polda Aceh menangkap 2 tersangka utama penembakan warga pendatang asal Jawa pada akhir 2011 dan awal 2012 lalu. Tersangka bernama Ayah Banta dan M. Jhoni merupakan hasil dari pengembangan polisi setelah menangkap pembawa bom pipa yang akan menghadang mobil kandidat tertentu dari independen Maret lalu.  Ayah banta sendiri dikenal sebagai eks kombatan GAM yang bermain di wilayah Pidie, Batee Iliek dan Bireun sehingga dimungkinkan memiliki keterkaitan dengan kasus pembantaian salah seorang timses Irwandi yang dulu juga merupakan eks panglima GAM Bireun, Pon Cagee alias Syaiful Husen. Selain itu, menurut pernyataan Ketua BNPT (Badan Nasional Penaggulangan Terorisme) Ansyaad Mbai, bahwa Ayah Banta adalah tersangka terroris yang menjadi buruan pihak keamanan Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Serangkaian aksi terror yang dilakukannya antara lain, terror bom Bandara Soekarno-Hatta, Wisma Bhayangkari, Gedung MPR-DPR, dan kantor UNDP (United Nations Development Program) di Jakarta.
Jihad kah?
Aksi-aksi kelompok Ayah Banta di Aceh maupun di Jakarta, sangat acak dan sulit diketahui pola maupun motif yang bersangkutan. Jika jihad menjadi alasan motifnya maka setidaknya ada alasan sasaran-sasaran Jihad selama ini yang sering terjadi seperti kepentingan barat/asing dan aliansinya. Namun ternyata sasarannya justru tempat wakil rakyat, fasilitas umum maupun kantor perwakilan PBB di Jakarta. Berbeda dengan sasaran di Jakarta, di Aceh sasaran kelompok Ayah Banta adalah salah satu kandidat Gubernur (Irwandi-Muhyan) dan para pekerja asal Jawa. Tidak ada keterkaitan dengan kepentingan barat/asing ataupun berlandaskan doktrin-doktrin fundamental Islam, namun lebih bersifat acak dan berbeda antara satu aksi dengan aksi lainnya. Oleh karenanya saya meragukan motif jihad di balik aksi terror yang dilakukan di Aceh.
Separatis kah?
Meskipun kelompok Ayah Banta adalah eks kombatan GAM, namun perkembangan global, nasional maupun lokal tidak lagi menjadikan isu separatisme sebagai isu yang cukup penting sehingga tampaknya juga kurang menguntungkan bagi kelompok tersebut. Para elit GAM sendiri sudah berkomitmen untuk konsisten berada dalam NKRI, sebagaimana pernyataan pemenang calon Gubernur asal Partai Aceh Zaini Abdullah di majalah Tempo edisi cetak yang baru lalu. Sehingga aksi bermotifkan separatis tampaknya sangat kecil dilakukan oleh mantan kombatan maupun organ-organ eks GAM di bawahnya.
Politik kah?
Motif politik mungkin paling kuat dibandingkan 2 dugaan motif di atas, setelah melihat keterkaitan peristiwa antara aksi, sasaran dan momen yang tengah berlangsung di Aceh serta dampak yang terjadi akibat aksi-aksi tersebut. Aksi terror dengan sasaran lawan politik tertentu dalam momen pesta demokrasi, menjadikan motif politik paling masuk akal di antara motif-motif yang ada. Dan sasaran para pekerja asal Jawa “berhasil” memaksa MK untuk menunda pemilukada sehingga memungkinkan Partai Aceh untuk konsolidasi dan ikut pemilukada yang sempat ditolaknya. Tapi benarkah demikian? Wallahu’alam.
Bagi saya sendiri, setiap aksi terror yang terjadi di Aceh selalu berdasarkan motif dan tujuan yang ingin dicapai sebab alasan apapun termasuk ideologi sekalipun tidaklah cukup kuat untuk dijadikan landasan melakukan aksi-aksi yang tentunya berbiaya tidak sedikit. Sehingga aksi terror berdasarkan “permintaan” mungkin bisa jadi menjadi salah satu alasan yang cukup logis juga. Artinya antara si pelaku dan pemesan tidak ada hubungan/keterkaitan apapun kecuali antara pemesan dan penyedia jasa, tanpa perlu kenal, bertatap muka, cukup sampaikan siapa yang menjadi sasaran, transfer biaya imbalan, selesai persoalan. Polisi pun hanya bisa bertindak berdasarkan bukti dan fakta yang ditemukan sehingga motif “kriminal murni”selalu menjadi acuan. Sayang sekali.

Sumber Opini Di Kompasiana Oleh Rafli Hasan
Share this post :
 
Design By : Nanggroe WEBdev Powered By e-berita.net