Pasca
berlangsungnya pesta demokrasi Aceh kedua yang berjalan lancar dan
aman, isu terror yang mengancam sepanjang proses pemilukada maupun
gejolak yang sangat mungkin terjadi setelahnya masih menjadi ancaman
bagi keselamatan rakyat Aceh, pun demikian halnya bagi kelangsungan
perdamaian di Serambi Mekah. Polisi memang telah menangkap sebagian
pelaku terror tersebut, namun hingga saat ini polisi terkesan belum
berani mengungkap motif ataupun “pesan” di balik aksi-aksi terror yang
dilakukan, Jihad, Separatis ataukah hanya bersifat persaingan politik
dan kekuasaan?
Memang sulit untuk
menilai arah dan tujuan dari aksi-aksi terror yang terjadi di Aceh.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa hal tersebut terkait dengan
pemilukada yang digelar 9 April yang lalu, namun polisi seolah enggan
mengkaitkan hal tersebut meskipun fakta di lapangan sangat gamblang
menggambarkannya sehingga berdalih dengan penilaian aksi terror yang
terjadi sebagai aksi kriminal murni.
Tetapi, polisi juga
tampaknya “gerah” dengan berbagai kritik masyarakat terhadap
institusinya terkait penanganan terror di Aceh yang terkesan kurang
“tegas” dan cenderung adanya pembiaran (atau mungkin juga takut) maka
pada Sabtu 14 April 2012 atau 5 hari pasca pemilukada tim gabungan
densus 88 dan polda Aceh menangkap 2 tersangka utama penembakan warga
pendatang asal Jawa pada akhir 2011 dan awal 2012 lalu. Tersangka
bernama Ayah Banta dan M. Jhoni merupakan hasil dari pengembangan polisi
setelah menangkap pembawa bom pipa yang akan menghadang mobil kandidat
tertentu dari independen Maret lalu. Ayah banta sendiri dikenal sebagai
eks kombatan GAM yang bermain di wilayah Pidie, Batee Iliek dan Bireun
sehingga dimungkinkan memiliki keterkaitan dengan kasus pembantaian
salah seorang timses Irwandi yang dulu juga merupakan eks panglima GAM
Bireun, Pon Cagee alias Syaiful Husen. Selain itu, menurut pernyataan
Ketua BNPT (Badan Nasional Penaggulangan Terorisme) Ansyaad Mbai, bahwa
Ayah Banta adalah tersangka terroris yang menjadi buruan pihak keamanan
Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Serangkaian aksi terror yang
dilakukannya antara lain, terror bom Bandara Soekarno-Hatta, Wisma
Bhayangkari, Gedung MPR-DPR, dan kantor UNDP (United Nations Development Program) di Jakarta.
Jihad kah?
Aksi-aksi kelompok
Ayah Banta di Aceh maupun di Jakarta, sangat acak dan sulit diketahui
pola maupun motif yang bersangkutan. Jika jihad menjadi alasan motifnya
maka setidaknya ada alasan sasaran-sasaran Jihad selama ini yang sering
terjadi seperti kepentingan barat/asing dan aliansinya. Namun ternyata
sasarannya justru tempat wakil rakyat, fasilitas umum maupun kantor
perwakilan PBB di Jakarta. Berbeda dengan sasaran di Jakarta, di Aceh
sasaran kelompok Ayah Banta adalah salah satu kandidat Gubernur
(Irwandi-Muhyan) dan para pekerja asal Jawa. Tidak ada keterkaitan
dengan kepentingan barat/asing ataupun berlandaskan doktrin-doktrin
fundamental Islam, namun lebih bersifat acak dan berbeda antara satu
aksi dengan aksi lainnya. Oleh karenanya saya meragukan motif jihad di
balik aksi terror yang dilakukan di Aceh.
Separatis kah?
Meskipun kelompok Ayah
Banta adalah eks kombatan GAM, namun perkembangan global, nasional
maupun lokal tidak lagi menjadikan isu separatisme sebagai isu yang
cukup penting sehingga tampaknya juga kurang menguntungkan bagi kelompok
tersebut. Para elit GAM sendiri sudah berkomitmen untuk konsisten
berada dalam NKRI, sebagaimana pernyataan pemenang calon Gubernur asal
Partai Aceh Zaini Abdullah di majalah Tempo edisi cetak yang baru lalu.
Sehingga aksi bermotifkan separatis tampaknya sangat kecil dilakukan
oleh mantan kombatan maupun organ-organ eks GAM di bawahnya.
Politik kah?
Motif politik mungkin
paling kuat dibandingkan 2 dugaan motif di atas, setelah melihat
keterkaitan peristiwa antara aksi, sasaran dan momen yang tengah
berlangsung di Aceh serta dampak yang terjadi akibat aksi-aksi tersebut.
Aksi terror dengan sasaran lawan politik tertentu dalam momen pesta
demokrasi, menjadikan motif politik paling masuk akal di antara
motif-motif yang ada. Dan sasaran para pekerja asal Jawa “berhasil”
memaksa MK untuk menunda pemilukada sehingga memungkinkan Partai Aceh
untuk konsolidasi dan ikut pemilukada yang sempat ditolaknya. Tapi
benarkah demikian? Wallahu’alam.
Bagi saya sendiri,
setiap aksi terror yang terjadi di Aceh selalu berdasarkan motif dan
tujuan yang ingin dicapai sebab alasan apapun termasuk ideologi
sekalipun tidaklah cukup kuat untuk dijadikan landasan melakukan
aksi-aksi yang tentunya berbiaya tidak sedikit. Sehingga aksi terror
berdasarkan “permintaan” mungkin bisa jadi menjadi salah satu alasan
yang cukup logis juga. Artinya antara si pelaku dan pemesan tidak ada
hubungan/keterkaitan apapun kecuali antara pemesan dan penyedia jasa,
tanpa perlu kenal, bertatap muka, cukup sampaikan siapa yang menjadi
sasaran, transfer biaya imbalan, selesai persoalan. Polisi pun hanya
bisa bertindak berdasarkan bukti dan fakta yang ditemukan sehingga motif
“kriminal murni”selalu menjadi acuan. Sayang sekali.
Sumber Opini Di Kompasiana Oleh Rafli Hasan