Open Society Foundation (OSF),
Selasa, 5 Februari 2013, meluncurkan hasil studi berjudul "Globalizing
Torture: CIA Extraordinary Rendition and Secret Detention". Studi ini
menyoroti program rendition (pemindahan seseorang ke negara lain tanpa
melalui proses hukum) dan penahanan rahasia yang dilakukan dinas rahasia
Amerika Serikat, CIA, paska serangan teroris 11 September 2001 ke
negara itu. Partner CIA dalam program rahasia ini 54 negara, termasuk
Indonesia.
Negara-negara partner CIA itu
berpartisipasi dalam operasi perburuan tersangka teroris ini dengan
berbagai cara: ada yang menyediakan penjara di wilayah mereka; membantu
penangkapan dan pemindahan tahanan; menyediakan wilayah udara domestik
dan bandaranya untuk penerbangan rahasia yang mengangkut tahanan;
menyediakan informasi intelijen yang mengarah ke penahanannya. Di
tahanan, mereka diperlakukan dengan aneka penyiksaan.
Partisipasi masing-masing negara
dalam program ini berbagai macam. Polandia dan Lithuania mengizinkan
CIA menjalankan penjara rahasia di negara mereka. Sejumlah negara Timur
Tengah, Asia, dan Eropa, membantu dengan menyerahkan tahanan kepada CIA.
Beberapa di antaranya melakukan penangkapan atas nama CIA.
Negara-negara di Timur Tengah menginterogasi tahanan atas nama CIA,
seperti yang dilakukan Yordania. Sedangkan Yunani dan Spanyol
menyediakan bandaranya untuk memindahkan tahanan secara rahasia.
Inilah negara yang menjadi
partner CIA dalam program rahasia tersebut: Afganistan, Albania,
Aljazair, Australia, Austria, Azerbaijan, Belgia, Bosnia-Herzegovina,
Kanada, Kroasia, Cyprus, Republik Ceko, Denmark, Djibouti, Mesir,
Ethiopia, Finlandia, Gambia, Georgia, Jerman, Yunani, Hongkong,
Islandia, Indonesia, Iran, Irlandia, Yordania, Kenya, Libya, Lithuania,
Macedonia, Malawi, Malaysia, Mauritania, Moroko, Pakistan, Polandia,
Portugal, Romania, Arab Saudi, Somalia, Afrika Selatan, Spanyol, Sri
Lanka, Swedia, Suriah, Thailand, Turki, Uni Emirat Arab, Inggris,
Uzbekistan, Yaman, dan Zimbabwe.
Apa peran Indonesia dalam
program rahasia itu? Studi itu menyebutkan, setidaknya ada 3 orang yang
ditangkap Intelijen Indonesia yang terkait dengan program itu: Muhammad
Saad Iqbal Madni, Nasir Salim Ali Qaru, dan Omar al-Faruq. Madni
ditangkap intelijen Indonesia di Jakarta, berdasarkan permintaan CIA. Ia
lantas ditransfer ke Mesir. Nasir ditangkap di Indonesia tahun 2003 dan
ditahan di sini sebelum ditransfer ke Yordania. Nasir selanjutnya
dipindahkan ke fasilitas CIA di lokasi yang tidak diketahui sebelum
akhirnya dipindahkan ke Yaman, Mei 2005. Sedangkan Faruq ditangkap di
Bogor tahun 2002 sebelum ditahan di penjara rahasia CIA. Dia ditahan di
Bagram, Afganistan, tapi melarikan diri, Juli 2005. Faruq mati ditembak
pasukan Inggris di Basra, Irak, tahun 2006.
Dalam studi itu OSF itu
disebutkan, setidaknya ada 136 orang yang dilaporkan menjadi korban
operasi ini. Jumlah sebenarnya bisa jadi lebih banyak, tapi tak akan
diketahui secara pasti sampai Amerika Serikat dan para mitranya membuka
informasi soal ini kepada umum. Studi ini fokus pada tahanan rahasia
CIA, tidak termasuk tahanan yang berada di Penjara Guantanamo, Kuba.
Laporan itu juga menuntut adanya
pertanggungjawaban, baik dari Amerika Serikat maupun negara-negara yang
membantunya itu. "Dengan terlibat dalam penyiksaan dan pelanggaran lain
yang terkait dengan penahanan rahasia dan pemindahan tahanan tanpa
proses hukum, pemerintah AS melanggar hukum domestik dan internasional,
sehingga mengurangi hak moral dan mengikis dukungan untuk memerangi
teroris di seluruh dunia," kata laporan OSF itu.
Studi itu menambahkan,
negara-negara lain yang berpartisipasi dalam program itu juga harus ikut
bertanggung jawab. Hingga kini, hanya Kanada yang telah meminta maaf
atas perannya, sementara tiga negara lainnya -Australia, Inggris, dan
Swedia- juga telah menawarkan kompensasi kepada individu yang menjadi
korban operasi itu.
Presiden Barack Obama sudah
memerintahkan untuk mengakhiri penggunaan interogasi yang keras ketika
ia mulai berkantor di Gedung Putih, 2009 lalu. Tetapi OSF mengkritiknya
karena masih mengizinkan adanya pemindahan tahanan tanpa proses hukum
jika negara-negara tujuan itu berjanji untuk memperlakukan tahanan
secara manusiawi.
CIA menolak mengomentari laporan
tersebut. Direktur CIA 2006-2009 Michael Vincent Hayden, berbicara
dalam pertemuan kelompok pemikir di Amerika Serikat bulan lalu,
mengingat kembali apa yang ia sampaikan kepada duta besar Eropa tahun
2007. "Kami berperang dengan Al-Qaeda dan afiliasinya. Perang ini dalam
lingkup global dan tanggung jawab moral dan hukum saya adalah memerangi
mereka di manapun mereka berada."
Juru bicara Kementerian Luar
Negeri Indonesia, Michael Tene, belum bisa dimintai konfirmasi. Michael,
yang sedang berada di Kairo, Mesir, tak bisa dihubungi.
Channel News Asia | Washington Post | Temp