TANTANGAN PENGELOLAAN LIMBAH
MEDIS DI DAERAH
Oleh:
Mutiawati dan Sofia*
Limbah medis merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi
oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) di Indonesia khususnya di Aceh.
Pengelolaan limbah medis di Aceh hingga kini masih belum optimal. Beberapa permasalahan
terkait dengan pengelolaan limbah medis Fasyankes adalah sulitnya memperoleh
izin insinerator, penyimpanan
limbah infeksius yang tidak sesuai standar, penumpukan limbah medis yang
melebihi kapasitas, tempat penyimpanan sementara yang tidak memenuhi standar, serta besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mengelola
limbah medis. Menurut data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2019, ada sekitar
295 ton/hari dihasilkan limbah medis.
Sejak berlangsungnya pandemi Covid-19, limbah medis
mengalami peningkatan sebesar 30 persen. Limbah medis ini perlu ditangani secara
khusus sesuai dengan persyaratan dan ketentuan perundang-undangan agar proses
pengolahannya terhindar dari dampak buruk kesehatan maupun dari kemungkinan
terjadinya penularan penyakit lainnya. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan
bahwa setiap orang yang menghasilkan
limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) wajib melakukan pengelolaan limbah B3.
Apabila tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya
diserahkan ke pihak lain atau pihak ketiga serta wajib mendapatkan izin dari
menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya. Bila
pengelolaan limbah B3 tidak dilakukan dengan baik sesuai peraturan
perundang-undangan, maka hal ini dianggap melanggar ketentuan bahkan dapat
dipidanakan.
Limbah medis adalah sisa-sisa produk baik biologis maupun nonbiologis yang dihasilkan oleh rumah sakit, klinik, puskesmas, maupun fasilitas kesehatan lainnya. Limbah medis bisa berupa darah, cairan tubuh, bagian tubuh, maupun alat-alat yang sudah terkontaminasi seperti jarum suntik, kain kasa, selang infus, dan lain-lain. Dampak buruk dapat terjadi jika limbah medis tidak ditangani dengan baik, misalnya pada limbah darah, jika darah berasal dari pasien yang mengidap penyakit infeksius seperti HIV dan Hepatitis B, maka akan mudah tertularkan ke orang lain. Limbah jarum suntik, jika dibuang sembarangan dapat melukai dan menularkan penyakit kepada orang lain. Oleh sebab itu, pengelolaan dan penanganan limbah medis perlu mendapat perhatian serius.
Jenis-jenis limbah medis
Menurut organisasi
kesehatan dunia, WHO, limbah medis termasuk didalamnya limbah
infeksius, limbah patologis, limbah benda tajam, limbah kimia, limbah farmasi,
limbah sitotoksik, dan limbah
radioaktif.
Limbah infeksius,
biasanya berasal dari prosedur medis tertentu seperti darah, cairan tubuh,
seperti air liur, keringat, dan urine yang bisa saja mengandung bakteri, virus,
maupun sumber penyakit lain yang bisa menular. Bahan ini dapat dihasilkan dari
kegiatan operasi atau pengambilan sampel di laboratorium.
Limbah patologis, yaitu
limbah medis yang berupa jaringan
manusia, organ dalam tubuh, maupun bagian-bagian tubuh lainnya. Limbah ini
biasanya dihasilkan setelah prosedur operasi dilakukan.
Limbah benda tajam, yaitu
alat-alat yang tajam seperti jarum suntik, pisau bedah sekali pakai, maupun
silet. Perlakuan untuk limbah medis yang satu ini memang perlu dilakukan dengan
sangat hati-hati.
Limbah kimia, yaitu
limbah medis yang bersifat kimia seperti cairan reagen yang digunakan untuk tes
laboratorium dan sisa cairan
disinfektan.
Limbah farmasi, yaitu
limbah hasil kegiatan farmasi seperti obat-obatan yang sudah kadaluarsa maupun
yang sudah tidak layak dikonsumsi karena adanya kontaminasi.
Limbah sitotoksik, yaitu
buangan atau sisa produk dari barang-barang beracun yang sifatnya sangat
berbahaya karena bisa memicu kanker hingga menyebabkan mutasi gen. Contohnya obat
yang digunakan untuk kemoterapi.
Limbah radioaktif, yaitu
limbah yang berasal dari prosedur radiologi, seperti rontgen, CT Scan,
maupun MRI.
Limbah tersebut bisa berupa cairan, alat, maupun bahan lain yang digunakan yang
sudah terpapar dan bisa memancarkan gelombang radioaktif.
Limbah biasa, yaitu sebagian besar limbah medis merupakan limbah biasa yang dihasilkan dari kegiatan harian di fasilitas kesehatan rumah sakit, seperti makanan untuk pasien, bungkus plastik alat medis, dan lain-lain.
Risiko dari Limbah Medis
Limbah medis dapat membahayakan kesehatan terutama bagi para petugas medis dan petugas kebersihan rumah sakit. Risiko yang dapat terjadi saat ada kontak dengan limbah medis yaitu luka atau sayatan akibat tertusuk jarum suntik bekas pakai atau pisau bedah bekas pakai, paparan racun yang membahayakan kesehatan, luka bakar kimiawi, peningkatan polusi udara apabila limbah medis dimusnahkan dengan cara dibakar, risiko terkena paparan radiasi berlebih tanpa pengaman, peningkatan risiko penyakit berbahaya seperti HIV dan hepatitis.
Pengelolaan limbah medis
Pengelolaan limbah medis diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit. Limbah yang termasuk dalam limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(B3), dan harus diperhatikan tahap-tahap khusus sebelum dibuang, yaitu :
·
Limbah infeksius dan benda tajam perlu
melalui proses sterilisasi terlebih dahulu sebelum akhirnya dibakar menggunakan
alat khusus dan dibuang.
·
Limbah farmasi padat dalam jumlah besar,
harus dikembalikan kepada distributor. Jika jumlahnya kecil, maka harus
dihancurkan atau diserahkan ke perusahaan khusus pengolahan limbah B3.
- Limbah sitotoksik, logam maupun bahan kimiawi harus
diolah dengan cara khusus sebelum dibuang. Bila fasilitas kesehatan tidak
mampu melakukannya, limbah harus diserahkan kepada perusahaan khusus
pengolahan limbah B3.
- Limbah kimia dalam bentuk cair harus disimpan dalam
kontainer yang kuat.
- Limbah medis yang berbentuk cair tidak boleh dibuang
langsung ke saluran pembuangan.
Tantangan Pengelolaan Limbah Medis
Secara umum, pengelolaan limbah medis di
Indonesia masih menghadapi banyak tantangan mulai dari regulasi, kapasitas
pengolahan, peran pemerintah daerah, koordinasi antar lembaga, sumber daya
manusia, sarana prasarana, perizinan, peran swasta, dan pembiayaan. Kapasitas
pengolahan limbah medis belum memadai baik dari segi jumlah maupun distribusi yang
belum merata. Jumlah Fasyankes yang mempunyai fasilitas pengolah limbah berizin
atau insenerator saat ini masih sangat minim. Kondisi di Provinsi Aceh, dari semua
RS yang ada di Aceh, hanya 4% rumah sakit yang memiliki izin insinerator.
Sisanya sebanyak 96%, belum memiliki izin pengelolaan limbah sendiri sehingga
harus bekerjasama dengan pihak ketiga. Kerjasama dengan pihak ketiga juga
mengalami tantangan tersendiri. Permasalahan biaya untuk pengelolaan limbah B3
yang sangat besar. Rata rata limbah medis yang dihasilkan Puskesmas bisa
mencapai berkisar 150-250 kg/bulan, sedangkan limbah medis rumah sakit mencapai
kisaran 1000-2000 kg/bulan. Besarnya volume limbah medis yang dihasilkan ini mengakibatkan
besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh Fasyankes setiap bulannya. Pengelolaan
limbah medis oleh pihak ketiga biasanya diangkut ke Pulau Jawa. Jauhnya jarak pengangkutan menyebabkan
besarnya biaya yang harus dibayarkan oleh Fasyankes dan menyebabkan
permasalahan lain yaitu terjadinya penumpukan limbah medis melebihi kapasitas
karena lamanya proses pengangkutan serta tempat penyimpanan yang tidak memenuhi
standar, sehingga mengakibatkan masalah hukum. Mengingat besarnya biaya
pengelolaan limbah medis di Provinsi Aceh, maka hal ini harus mendapat
perhatian khusus dari pemerintah daerah. Akan lebih efektif dan efisien jika
pemerintah daerah dapat melakukan pengelolaan sendiri limbah medis ini dengan
menyiapkan sarana dan prasarananya sehingga tidak bergantung kepada pihak
ketiga. Salah satu solusi terbaik dalam pengelolaan
limbah di Aceh adalah dengan menerapkan konsep pengelolaan limbah medis
berbasis wilayah sesuai amanat Permenkes Nomor 18/2020 tentang Pengelolaan
Limbah Medis Fasyankes Berbasis Wilayah. Didalam Permenkes Nomor 18 Tahun 2020 juga
dinyatakan bahwa Pengelolaan limbah medis Fasyankes berbasis wilayah memerlukan
dukungan sumber daya seperti : 1. Lahan untuk lokasi pengelolaan sesuai
ketentuan tata ruang, 2. Sarana dan prasarana dalam pengelolaan limbah medis
fasyankes, 3. SDM yamg memiliki pengalaman dan kompetensi dalam pengelolaan
limbah, 4. Pendanaan.
Implementasi pengelolaan limbah medis
berbasis wilayah memberikan banyak keuntungan diantaranya: 1. Biaya pengelolaan
menjadi lebih kecil karena jarak pengangkutan dekat, 2. Mengurangi penumpukan limbah
medis di fasyankes, 3. Fasyankes tidak perlu menyediakan tempat penyimpanan
khusus (cool storage), karena limbah medis tidak disimpan lama. Untuk
menghadapi tantangan pengelolaan limbah medis berbasis wilayah ini sangat
dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah, serta koordinasi yang
baik dengan setiap stakeholder yang terlibat. Akhirnya kita berharap agar pengelolaan limbah
medis bisa efektif dan efisien maka perencanaan untuk melakukan pengelolaan
limbah medis berbasis wilayah yang didukung dengan ketersediaan infrastruktur
dan sumber daya manusia dapat dijalankan dengan kerjasama antara pemerintah
daerah dengan Fasyankes.
*Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala