Lhokseumawe- Organisasi gerakan Aceh sumatra merdeka yang bermarkas diluar negeri
kembali bersuara atas kegagalan 7 tahun MoU Helsinki. Dengan press rilis
perdananya berjudul Oposisi Belum Merasa Aman Hidup di Acheh melalui website resmi Acheh Sumatera National Liberation Front [ASNLF] www.asnlf.org
mereka melansir soal persetubuhan para mantan pasukan Aceh Merdeka yang
telah bertransformasi menjadi KPA dan mendirikan Partai lokal Aceh
dengan pelanggar HAM Indonesia baik Jenderal Sunarko maupun Mayjen TNI Jalil Yusuf dkk.
Siaran pers tanggal 20 April 2012 itu juga mengkritik pelaksanaan rekonsiliasi
antara petinggi GAM di Aceh yang mengampuni dan melupakan pelanggaran
HAM masa lalu, termasuk pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap
kemanusiaan yang tak terhitung jumlahnya selama konflik.
Berikut rilis yang mereka keluarkan seutuhnya:
Pesta demokrasi
telah berakhir dan rakyat Acheh baru saja melaksanakan hak-hak
demokrasi mereka untuk memilih posisi gubernur, bupati dan walikota
dalam pemilu pada 9 April yang lalu. Hampir 7 tahun setelah penanda
tangani Nota Kesepahaman, yang mengakhiri perang antara pemerintah
Indonesia dan Gerakan Acheh Merdeka (GAM), sekali lagi rakyat Acheh
menjalani salah satu periode paling sulit dalam masa-masa damai ini.
Meskipun
penampilan yang keterlaluan menjelang pemilu dan selama masa-masa
kampanye, calon dari bekas kombatan yang tergabung dalam Partai Acheh
yaitu Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf menang secara mutlak atas kandidat
lainnya, termasuk Irwandi Yusuf yang maju melalui jalur independen,
walaupun ia didukung oleh mayoritas bekas komandan-komandan lapangan
GAM.
Pemilu yang
secara terang-terangan dinodai oleh berbagai kekerasan termasuk
serangkaian pembunuhan yang bermotive politik, ancaman-ancaman dan
intimidasi yang luas, pengrusakan kendaraan calon saingan dan segala
macam muslihat kotor lainnya. Dengan kemenangan ini, Partai Acheh, yang
digambarkan oleh International Crisis Group sebagai satu "partai
otokratis, hampir menyerupai sistem feodal yang tidak menerima ada
perbedaan pendapat", sekarang mengontrol penuh badan legislatif dan
eksekutif.
Ketua Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu) Nyak Arief Fadhillah lebih lanjut menegaskan
bahwa Partai Acheh mengintimidasi para pemilih hampir di seluruh
wilayah, memaksa mereka untuk memilih kandidat dari partai itu. "Kami
mendapat laporan intimidasi dari hampir semua daerah. Di Pidie,
misalnya, seorang petugas TPS memberikan suara tiga kali. Kami masih
mengumpulkan lebih banyak bukti untuk mendukung dakwaan kami bahwa
intimidasi terjadi secara besar-besaran," katanya.
Asian Network
For Free Elections (ANFREL), dalam laporan awalnya tanggal 11 April,
sangat kritis terhadap bagaimana pemilu ini berlangsung. Para pengamat
dari organisasi ini menyatakan, bahwa ancaman-ancaman melalui SMS telah
dilaporkan kepada pihak pengamat pemilu di berbagai wilayah, tetapi
tidak ada tindakan lebih lanjut. Damaso Magbual, ketua ANFREL,
melaporkan tentang penyimpangan-penyimpangan selama hari pemungutan
suara, seperti satu kejadian dimana seorang anggota legislatif setempat
tiba di sebuah tempat pemilihan dan memerintahkan para pemilih untuk
memilih calon tertentu. Jenis ancaman seperti ini menjadi lebih buruk
lagi, seperti dalam satu kasus yang diamati oleh ANFREL, para pelaku
adalah tokoh "kuat dan terkenal".
Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF)
sudah sepatutnya khawatir tentang perkembangan dan situasi masa depan
di Acheh, khususnya tentang keamanan anggota-anggotanya yang masih
berkeinginan kuat mewujudkan kemerdekaan Acheh. Sejarah menunjukkan
bahwa pihak-pihak pejabat masa depan Acheh belum mampu menyesuaikan
dirinya ke dalam suasana pasca konflik dan masih memiliki
perilaku-perilaku yang tercela.
Masalah hak asasi manusia
Di Acheh, hak
asasi manusia telah dianggap sebagai sesuatu untuk masa lampau. Meskipun
telah ditetapkan dalam pasal 2.2 dan 2.3 dalam Nota Kesepahaman (MoU)
Helsinki bahwa "Pengadilan HAM" dan "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi"
akan dibentuk di Acheh, namun sejauh ini belum ada kejelasannya setelah
hampir 7 tahun kesepahaman damai tersebut ditanda-tangani. Yang terjadi
sekarang adalah pelaku-pelaku telah berupaya melarikan diri dari
keadilan dengan rekonsiliasi di antara mereka-mereka sendiri dan
mengampuni dan melupakan pelanggaran masa lalu, termasuk pelanggaran HAM
berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tak terhitung jumlahnya
selama konflik.
Rekonsiliasi
memang telah terjadi antara bekas kombatan (GAM) dan militer Indonesia.
Tapi tidak ada upaya semacam itu dilakukan antara mantan kombatan dan
orang Acheh sendiri dan antara militer Indonesia dengan pihak korban
pelanggaran HAM. Harapan yang tinggi untuk membentuk komisi yang
disebutkan di atas, untuk membawa para pelaku ke pengadilan menjadi
semakin jauh setelah dua bekas panglima militer indonesia untuk Acheh,
Jenderal Sunarko dan Mayjen Jalil Yusuf bergabung secara aktif dengan
Partai Acheh dalam masa kampanye untuk memenangkan kandidatnya. Menurut
berita salah satu media lokal, kedua pejabat tinggi militer tersebut,
yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia selama konflik, hampir
dipastikan akan tinggal di Acheh sebagai penasehat untuk pemerintah
Acheh yang baru.
Gagasan untuk
membawa para pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan telah berlangsung lama
dan terus-menerus disuarakan oleh rakyat Acheh untuk menuntut
kebrutalan-kebrutalan yang tidak terkatakan yang dilakukan oleh angkatan
bersenjata Indonesia terhadap rakyat Acheh dalam tiga dekade terakhir
ini. Tetapi dengan perkembangan akhir-akhir ini, Acheh sekali lagi jatuh
dalam cengkeraman besi pihak Jakarta melalui tangan-tangan bekas
jenderal yang penuh berlumuran darah.
Masalah Politik
Acheh-Sumatera
National Liberation Front (ASNLF) yang didirikan oleh Dr. Tengku Hasan
di Tiro pada tahun 1976, adalah satu-satunya front perjuangan pembebasan
yang sah, yang berdasarkan pada sejarah, hukum internasional dan
konvensi, yang terus memperjuangkan kemerdekaan Acheh dari
neo-kolonialisme Indonesia. Kami percaya bahwa akar permasalahan Acheh
adalah permasalahan politik dan ini harus diselesaikan secara politik.
Oleh karena itu, tanpa kembali ke akar persoalan,
pelanggaran-pelanggaran HAM di Acheh tidak akan pernah terperbaiki.
Masalah Acheh harus diselesaikan melalui prinsip-prinsip dari hak
penentuan nasib sendiri rakyat Acheh untuk menentukan masa depan mereka
sendiri.
Sekitar enam
puluh tahun yang lalu, negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
telah mengadopsi sebuah resolusi yang berkaitan untuk memecahkan masalah
hak asasi manusia: "Hak orang-orang dan bangsa-bangsa untuk menentukan
nasib sendiri adalah satu persyaratan awal untuk merealisasi penuh hak
asasi manusia" (Resolusi PBB 637-A, 16 Desember 1952). Sudah menjadi
pengetahuan umum, bahwa tidak akan ada perdamaian tanpa keadilan dan
tidak akan ada keadilan tanpa rasa hormat kepada hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan yang mendasar. Dan hak-hak asasi manusia tidak dapat
sepenuhnya terwujud bila hak suatu bangsa untuk menentukan nasib
sendiri tidak diindahkan.
ASNLF sangat
prihatin, bahwa perkembangan politik setelah pemilihan umum akan
menciptakan ketidakpuasan yang kuat di antara calon-calon yang kalah
dengan tidak adil, yang pada gilirannya dapat menyebabkan
ketidakstabilan dan mungkin menyebabkan konflik kambuh lagi.
Situasi politik
di tanah air kami adalah sedemikian rupa sehingga dalam masa-masa damai
ini masih terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan. Dan kami
tidak punya alasan untuk mempercayai, bahwa situasi di Acheh ke depan
akan dapat menjamin adanya perlindungan dari tekanan-tekanan dan
intimidasi terhadap hak-hak politik orang Acheh dan identitas bangsa
Acheh. Oposisi belum merasa aman hidup di Acheh.
Ariffadhillah
Ketua Presidium
Acheh-Sumatra National Liberation Front [ASNLF]