Jakarta
– Niatan Wapres Boediono yang ingin supaya ketinggian volume pengeras
suara saat mengumandangkan azan direndahkan agar terdengar sayup-sayup,
langsung mengundang reaksi pro dan kontra dari berbagai pihak. Sejumlah
pihak menilai Boediono sebagai orang yang “jahil dalam syariat Islam”
(bodoh atau tidak memahami syariat Islam,red.)
yang mengatur soal suara azan itu sendiri. Karena Rasulullah SAW
menganjurkan agar suara azan harus keras bukan sayup-sayup, berdasarkan
hadits Nabi SAW: “Tidaklah mendengar suara muadzin bagi jin dan manusia
serta (segala) sesuatu, kecuali memberikan kesaksian untuknya pada hari
Kiamat.” [HR Al Bukhari].
Sebelumnya KabarNet telah memberitakan tentang hal ini [Klik Disini] terkait
permintaan Wapres Boediiono kepada organisasi Dewan Masjid Indonesia
untuk mulai membahas dan mengatur tata tertib penggunaan pengeras suara
di masjid-masjid. Menurut Boediono, apa yang dirasakan olehnya mungkin
juga dirasakan oleh orang lain, yakni suara azan yang terdengar
sayup-sayup dari jauh pasti terasa lebih merasuk ke sanubari dibanding
suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga.
Mengenai apa yang disampaikan Wapres tersebut, sebenarnya aturan soal
pengeras suara itu sudah sejak lama diatur oleh Kementerian Agama
(Kemenag). Sebagaimana dikutip detikcom dari situs
bimasislam.kemenag.go.id, Jumat (27/4/2012), aturan itu sudah ada 1978.
Soal pengeras suara itu diatur dalam instruksi Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam).
Terkait pengaturan pengeras suara di masjid-masjid sudah diatur dalam
keputusan Dirjen Bimas Islam nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan
Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Keputusan itu
ditandatangani oleh Dirjen Bimas Islam saat itu, Kafrawi, pada tanggal
17 Juli 1978.
Aturan Dirjen Bimas Islam mengenai syarat-syarat penggunaan pengeras suara antara lain sebagai berikut di bawah ini:
1.
Perawatan penggunaan pengeras suara dilakukan oleh orang-orang yang
terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian
tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau
anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.
2.
Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca
Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak
tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk
menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid
dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang
mendengar, selain juga menjengkelkan.
3.
Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya
terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu
bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri
karena tidak mentaati ajaran agamanya
4.
Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan
siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang
beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali
azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda
dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas,
maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain
berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian
sekitarnya.
5.
Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang
harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya
adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara
muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.
Bahkan di dalam instruksi Dirjen Bimas Islam tersebut juga diatur
bagaimana tata cara memasang pengeras suara, baik suara ke dalam ataupun
suara yang diarahkan keluar. Juga penggunaan pengeras suara di
waktu-waktu solat.
Akan halnya “cawe-cawe” terhadap
volume suara azan yang dilakukan oleh Wapres Boediono, Ketua DPP Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), M.Arwani Thomafi, menilai tindakan
tersebut terlalu berlebihan. Menurutnya, masih banyak tantangan bagi
umat Islam di Indonesia, ketimbang mengatur suara azan. “Apakah suara
azan itu mengganggu? Perlu diketahui bahwa lantunan azan juga
mencerminkan ekspresi keberagaman seseorang. Apakah kemudian ekspresi
keberagaman lainnya juga diatur? Sebaiknya, Wapres fokus bagaimana
memajukan umat Islam, daripada hanya mengatur suara azan,” tandasnya,
Jumat (27/4/2012).
Selanjutnya M.Arwani Thomafi mengingatkan bahwa masih banyak persoalan
bangsa ini yang memerlukan perhatian pemerintah. Untuk itu, pihaknya
meminta agar Wapres Boediono mengklarifikasi pernyataannya. “Karena, hal
ini bisa melukai hati umat Islam Indonesia.” kata Arwani mengingatkan.
Terkait ucapan Wapres Boediono tentang usulan pengaturan tinggi
rendahnya pengeras suara yang mengumandangkan azan, mengingatkan kita
kepada suasana di wilayah pendudukan Palestina. Di wilayah itu rezim
penjajah zionis Israel melakukan pengaturan ketat soal azan ini dengan
alasan suara azan mengganggu warga. Padahal suara azan sudah
berkumandang di wilayah Palestina dan juga di Indonesia sejak ratusan
bahkan ribuan tahun yang lalu.
hot news : nonton video koboi palmerah, klik disini
hot news : nonton video koboi palmerah, klik disini