Hal tersebut disampaikan LBH Aceh dalam sebuah rilis, Senin 21 Mei 2012. "Pemko Banda Aceh menutup lokasi tersebut terkesan panik tanpa ada solusi terhadap para pedagang yang selama ini menggantungkan penghasilan mereka dari berjualan dipinggir jalan," isi rilis tersebut.
Pemerintah seharusnya mencari solusi lain yang lebih bijaksana untuk menjadikan Ulee Lheu sebagai wisata islami yang bebas dari praktek maksiat. Kebijakan yang diambil Pemerintah Kota Banda Aceh hendaknya bukanlah kebijakan yang menyelesaikan satu persoalan dan menimbulkan persoalan baru.
"Dengan menutup lokasi wisata Ulee Lheu pada jam-jam tertentu justru berdampak pada aspek ekonomi masyarakat yang mana hak atas pekerjaan dan pendapatan juga merupakan kewajiban dari Negara untuk memenuhinya," tulisnya.
Selain itu, menurut LBH Aceh juga menunjukkan bahwa Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh tidak punya konsep tentang bagaimana menata Ulee Lheu sebagai lokasi wisata islami.
Hak atas pekerjaan dan pendapatan merupakan hak asasi manusia yang tergabung dalam hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) yang merupakan kewajiban Negara untuk memenuhinya. Kewajiban Negara atas hak-hak atas pekerjaan dan pendapatan ini diatur dalam UU No. 11 tahun 2005 yang merupakan ratifikasi dari Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) dan konstitusi negara RI Pasal 28C, 28H dan Pasal 31
Perubahan II UUD 1945.
Dalam aturan hukum tersebut, Negara harus menjamin kepastian pekerjaan bagi para pedagang yang selama ini telah bekerja bukannya kemudian menghilangkan akses mereka terhadap pekerjaan.
"Kita berharap Pemko Banda Aceh dengan segera dapat mencarikan solusi terhadap para pedagang yang selama ini menggantungkan pendapatannya dari jualan pinggir jalan dilokasi wisata Ulee Lheu. Dampaknya kedepan bukan hanya pada pendapatan ekonomi tetapi juga akan berimbas pada aspek pendidikan dimana aspek pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh pendapatan ekonomi," ujar Syahminan Zakaria, Kepala Divisi Ekosob LBH Aceh dalam rilis tersebut