Headlines News :
Home » » GELIAT PERDAGANGAN ACEH PADA ZAMAN KESULTANAN

GELIAT PERDAGANGAN ACEH PADA ZAMAN KESULTANAN

Written By News and Fun on Thursday 26 July 2012 | 00:36


Oleh: Sudirman (BPSNT Banda Aceh)


Abstrak
Dalam perkembangan peradaban Nusantara, Aceh merupakan salah satu kerajaan yang memiliki dasar nilai-nilai kebudayaan kebaharian. Sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara, telah mendasarkan politik kerajaan pada penguasaan dalam jalur perdagangan. Sebagai salah satu kota tertua di antara ibukota propinsi dan kota-kota besar yang terdapat di dalam gugusan Kepulauan Nusantara, Banda Aceh bersama-sama dengan Malaka pernah menduduki posisi penting dalam arus lalu lintas perdagangan Timur dan Barat pada abad ke XVI – XVII. Bagaimana sistem ekonomi yang dijalankan oleh kesultanan Aceh pada waktu itu, sehingga telah membawa rakyatnya pada puncak kemakmuran. Faktor prilaku masyarakat yang berjiwa dagang dan Posisi geografi yang terletak pada ujung utara pulau Sumatera dan pada sebuah teluk yang memungkinkan kapal-kapal niaga keluar-masuk ke jurusan Birma, Benggala atau Srilangka, Kalikut, Malaka, dan pantai barat Sumatera memberi keuntungan bagi Aceh dan daerah sekitarnya dalam kontak perniagaan Timur-Barat semenjak dahulu kala.

A. Pendahuluan
Sebelum kedatangan bangsa Barat, kegiatan perdagangan di wilayah Nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan Internasional. Jalan perniagaan melalui laut telah dimulai dari Cina melalui laut Cina, Selat Malaka, India, Teluk Persia, Suriah hingga ke laut Tengah.
Tiada seorangpun kiranya yang membantah bahwa Banda Aceh tergolong ke dalam kelompok kota tertua di antara ibukota propinsi dan kota-kota besar yang terdapat di dalam gugusan Kepulauan Nusantara. Ia bersama-sama dengan Malaka telah pernah menduduki posisi penting dalam arus lalu lintas perdagangan Timur dan Barat.
Dari perkembangan sejarah itu, ada hal yang menarik untuk dicermati, berbagai jenis infrastruktur ekonomi penting seperti transportasi, pelabuhan, keagenan dan lembaga keuangan belum berkembang seperti yang ada sekarang ini. Namun, tidak menghalangi para pedagang untuk mengembangkan usahanya.

B. Pedagang
Pelaku-pelaku yang terlibat dalam perdagangan itu terdiri atas pedagang keliling dan pedagang lokal, pedagang keliling umumnya berasal dari pendatang bangsa asing yang menyinggahi pelabuhan Aceh untuk bongkar-memuat barang dagangan. Mereka terdiri atas bangsa-bangsa Eropa (Portugis, Inggris, Perancis dan Belanda), bangsa Amerika Serikat, bangsa-bangsa India (keling, Malabar, Gujarat) bangsa Turki, bangsa Arab, bangsa Persia, bangsa Birma (Pegu), bangsa Cina, dan pedagang dari Nusantara dan Semenanjung Melayu.
Ibukota kerajaan Aceh menjadi ramai, kadangkala pedagang-pedagang keliling itu menetap dan membentuk kampung-kampung di dalam kota, seperti kampung Keudah, kampung Jawa, kampung Peulanggahan, atau kampung Pande, yang ada di Banda Aceh. Besar kemungkinan nama kampung yang sampai sekarang masih ada, misalnya, kampung Jawa, kampung Pahang, kampung Kedah, kampung Perak, kampung Pegu, dan kampung Keling, merupakan tempat tinggal para pedagang-pedagang tersebut. Pedagang lokal umumnya terdiri atas kaum bangsawan atau orang kaya.
C. Komoditas Dagangan
Aceh pada waktu itu banyak menghasilkan hasil bumi yang sangat dibutuhkan oleh pedagang-pedagang Nusantara dan luar Nusantara. Pada abad ke-17 bahkan semenjak abad ke-14 sutera banyak dihasilkan di daerah Aceh : Para petani mengusahakan sutera dalam jumlah yang besar, yang diolah menjadi berbagai barang yang sangat digemari di seluruh pulau Sumatera. Adapun lada telah menjadi barang ekspor yang pokok. Ekspornya dahulu ke Cina, kemudian meningkat karena permintaan yang mendesak dari pedagang Barat, baik pedagang Islam maupun pedagang non-muslim Eropa. Walaupun pada mulanya tanaman lada belum begitu dikembangkan di Aceh, bahkan pada tahun 1621 M belum mencapai 500 bahar setiap tahun. Hal itu disebabkan keperluan beras yang mendesak sehingga banyak tanaman lada yang dicabut.
Pusat-pusat utama penghasil lada pada waktu itu ke selatan dan barat pulau Sumatera. Kemudian di Semenanjung Melayu, pulau Langkawi dan di Kedah. Pada suatu waktu karena harga lada yang ditetapkan oleh Sultan Iskandar Muda terlalu tinggi, Beaulieu secara diam-diam mencari sendiri lada ke Kedah dan Langkawi.
Di samping mengambil posisi sebagai "enterpot" dari komoditas ekspor, Kota Banda Aceh memerlukan berbagai komoditas impor yang dibutuhkan bagi keperluan penduduk. Sukar sekali kita peroleh angka-angka tentang jumlah satuan barang yang diperniagakan di dalam kota. Namun bagaimanapun, jumlah barang yang dikonsumsi tentu berkaitan erat dengan jumlah penduduk yang mendiami kota dan daerah hinterlandnya. Nicolaus de Graaf, orang Belanda yang datang ke Aceh pada tahun 1641 M, dan Dampier, orang Inggris pada tahun 1688 M, mengatakan kota Banda Aceh mempunyai keliling 2 mil dengan jumlah rumah sekitar 7000 atau 8000 buah. Perkiraan di atas kelihatannya tidak jauh meleset dengan yang dilakukan oleh Anderson pada permulaan tahun 1800 M yang menyatakan pen¬duduk Bandar Aceh Darussalam adalah 36.000 jiwa.
Jenis mata dagangan lain yang diperdagangkan pada waktu itu adalah gajah dan kuda, belerang (tanah cempaga). Hasil hutan yang tinggi harganya adalah kayu cendana, sapang, damar, kemenyan putih, kemeyan hitam, kapur, akar pucuk, minyak rasa mala, kulit kayu masui, lada, bunga bawang, gading, tali dari sabut kelapa dan sutera. Mata dagangan yang didatangkan ke Bandar Aceh Darussalam antara lain ; beras, tembakau, opium, kain, mesiu, dan bahan tembikar, sarang burung, pewarna ; senam (tarum), sidelingam (vermiliun), manjakani (majakane), kesumba, hartal, dan tawas.
Sebaliknya pelabuhan Aceh mengimpor untuk keperluannya sendiri atau untuk diekspor kembali, yang terdiri atas bahan makanan : beras, mentega (minyak barang guci), gula, anggur, kurma. Jenis logam : timah putih, timah hitam, besi batangan, besi biji atau lempengan, baja dan jenis tekstil : yang kebanyakan diimpor dari Gujarat, Benggala, yaitu kain tenun. Beberapa barang kerajinan tangan : berbagai macam tembikar (mangkok, batu, pinggan batu) guci pegu, cermin, paku, sabun, kipas, kertas dasa. Bahan perangsang : candu, kopi, teh, tembakau. Beberapa barang mewah : batu karang (pualam), air mawar peti, dan bahkan budak secara tebusan.
Apabila diperhatikan dari komoditas yang diperniagakan di atas, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Komoditas ekspor terdiri atas hasil hutan atau hasil perkebunan dalam bentuk ladang yang tidak menuntut suatu teknologi tinggi atau organisasi sosial yang rumit. Lada merupakan primadona ekspor pada waktu itupun dikerjakan dengan sistem perladangan oleh petani. Apabila petani-petani itu terkonsentrasi pada sebuah areal maka terbentuklah persekutuannya yang disebut seuneubok, sementara jika petani petani itu dimodali oleh orang lain, pemodal tersebut yang umumnya kaum bangsawan dinamai peutuha pangkay.
Transaksi perniagaan telah pula memunculkan sistem takaran, timbangan dan mata uang. satuan takaran atau timbangan yang berlaku tampaknya terkait dengan sistem umum yang berlaku di kawasan barat Nusantara pada waktu itu ; yaitu koyan, bahar, pikul, dan kati.

D. Mata Uang
Transaksi perniagaan telah pula memunculkan sistem takaran, timbangan dan mata uang. Satuan takaran atau timbangan yang berlaku tampaknya terkait dengan sistem umum yang berlaku di kawasan barat Nusantara pada waktu itu ; yaitu koyan, bahar, pikul, dan kati. Satuan mata uang yang dipakai sebagai alat transaksi adalah mata uang asing, yaitu dollar Spanyol atau ringgit meriam dan mata uang lokal, seperti derham, mas, suku, kupang dan busuk.
Menurut catatan sejarah, semenjak abad XII dan abad XIII sudah berlangsung hubungan perdagangan antara negeri Cina dan India (Cambay) dengan kerajaan Pasai. Pedagang-pedagang Cina yang menggunakan perahu-perahu Jong yang berdagang pada kota-kota pelabuhan dalam wilayah kerajaan Pasai pada waktu itu telah mempergunakan mata uang perak yang bernama ketun sebagai alat tukar dalam mendapatkan barang-barang dari penduduk setempat.
Orang-orang Potugis selanjutnya juga mengedarkan mata uang ringgit bergambar tiang yang populer dengan sebutan ringgiet Spanyol (ringgit Spanyol), namun orang-orang Aceh menamakan mata uang itu dengan nama ringgiet meriam. Karena pada mata uang itu terdapat dua buah pilar yang menyerupai meriam. Mata uang ringgit meriam itu dikenal secara luas di Aceh dan dinamakan juga reyal yang dalam istilah Aceh disebut rieyeu, sebagai alat tukar khususnya dalam transaksi lada. Sebagaimana disebutkan dalam karya Pieter van Dam bahwa alat pembayaran dalam pembelian lada di Aceh digunakan uang reyal. Apabila sebelum datang orang-orang Belanda dan Inggris ke Aceh harga lada sekitar 8 riyal per bahar (1 bahar + 375 lbs Inggris), maka setelah datang pedagang-pedagang tersebut naik menjadi 20 riyal per bahar, dan ketika datang pedagang-pedagang Perancis naik lagi hingga menjadi 48 reyal per bahar.
Selain reyal atau ringgit meriam itu orang-orang Portugis mengedarkan pula tiga jenis mata uang tembaga, yaitu mata uang tembaga yang ukurannya sebesar ringgit meriam, dengan tulisan Arab di salah satu sisinya yang berbunyi empat kepeng, disebut dengan nama duet (duit). Mata uang tembaga yang lebih kecil dengan tulisan Arab yang berbunyi dua kepeng. Mata uang itu tidak mempunyai nama dalam istilah Aceh. Mata uang tembaga berbentuk kecil dengan tulisan Arab berbunyi satu kepeng.
Selain mata uang tersebut di atas menurut Tom Pires di kerajaan-kerajaan pada bagian pantai timur Sumatera, di pusat-pusat kerajaan telah digunakan jenis-jenis mata uang tertentu sebagai alat tukar dalam perdagangan. Di Kerajaan Pedir terdapat mata uang dari timah bentuknya kecil yang disebut keuh dan mata uang dari emas disebut drama serta mata uang yang dibuat dari perak yang disebut tanga yaitu jenis mata uang yang menyerupai uang Siam.
Kerajaan Aceh Darusslam baru mengeluarkan mata uang emas sendiri pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayatsyah al-Kahhar (1537-1568 M), yang populer dengan sebutan Sultan al-Kahhar. Menurut sumber lokal (kisah lada sicupak) sultan al-Kahhar pernah mengirim utusan kepada sultan Turki dan sebaliknya oleh Sultan Turki dikirim ke Aceh ahli-ahli dalam berbagai bidang keterampilan seperti ahli dalam pembuatan senjata (penuangan meriam) dan juga para ahli dalam pembuatan mata uang. Kepada orang-orang Turki inilah Sultan al-Kahhar menyuruh membuat mata uang emas yang juga disebut dengan nama deureuham, menurut nama mata uang Arab. Sultan Aceh menetapkan ringgit Spanyol sebagai kesatuan mata uang yang hendak dilaksanakan itu. Ditetapkan pula bahwa dari sejumlah emas untuk satu ringgit Spanyol dapat ditempa menjadi 4 deureuham, sehingga 4 deureuham sama dengan satu ringgit Spanyol. Selanjutnya, mutu emas yang diperlukan untuk mata uang emas harus pula memenuhi syarat, yaitu kadar harus sikureueng mutu (sembilan mutu).
Dari orang-orang Inggris sultan Aceh membeli mata uang tembaga yang di atasnya dibubuhi gambar seekor ayam betina, yang dinamakan duet manok (mata uang ayam betina). Sultan menetapkan pula bahwa untuk 1000 duet manok sama nilainya dengan 1 ringgit Spanyol. Adapun hitungan mata uang yang ditetapkan sultan adalah : 1 ringgit meriam sama dengan 4 meuih (mas), 1 meuih (mas) sama dengan 250 duet manok.
Selain membuat mata uang emas yang disebut deureuham, kerajaan Aceh pada waktu itu juga membuat mata uang dari timah yang dinamakan keuh. John Davis nahkoda pada kapal Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman datang ke kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayatsyah Al Mukammil (1588-1604 M) menyebutkan ada dua jenis mata uang utama yang beredar di kerajaan Aceh pada waktu itu, yaitu mata uang emas yang bentuknya sebesar uang sen di Inggris dan mata uang dari timah yang disebut casches (mungkin keuh dalam bahasa Aceh, orang Portugis menyebutnya caxa, dibuat dari timah dan kuningan, Belanda menyebutnya kasja atau kasje). Selain kedua jenis mata uang utama tersebut, terdapat pula jenis-jenis mata uang lain seperti kupang (mata uang yang dibuat dari perak), pardu (juga terbuat dari perak yang ditempa oleh Portugis di Goa), dan tahil. Adapun nilai dari setiap mata uang tersebut : nilai 1600 casches sama dengan 1 kupang ; 4 kupang sama dengan satu deureuham, 5 deureuham (uang emas) sama dengan 4 schelling Inggris, 4 uang emas sama dengan 1 pardu dan 4 pardu sama dengan 1 tahil.
Sistem mata uang tersebut tidak mengalami perubahan hingga pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada masa Sultan Iskandar Muda menetapkan suatu ketentuan terhadap mata uang emas yaitu dari jumlah emas yang sama tanpa mengubah kadar emasnya, 1 uang emas (1 deureuham) dijadikan 5 deureuham. Walaupun nilai emas yang sebenarnya telah dikurangi, tetapi nilai peredarannya masih tetap dapat dipertahankan seperti sebelumnya. 4 deuereuham emas tetap bernilai 1 ringgit Spanyol dalam peredarannya.
Pada masa pemerintahan Tajul Alam Safiatuddin Syah (641-1675 M) puteri Sultan Iskandar Muda, dilakukan lagi pengurangan timbangan emas dari sebuah deureuham ; bahkan ia juga mengurangi pula kadar emasnya. Dari jumlah emas untuk menempa satu ringgit Spanyol ia menyruh tempa menjadi 6 buah deureuham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8 mutu meuih atau menurut hitungan emas Belanda menjadi 19,2 karat. Walaupun demikian deureuham itu tidak berubah dalam nilai sirkulasinya seperti sebelumnya. Sultanah Safiatuddin juga memerintahkan supaya dikumpulkan semua deureuham yang telah diperbuat sebelum masa pemerintahannya untuk kemudian dilebur menjadi deureuham baru. Oleh karena itu, deureuham-deureuham yang berasal dari sultan sebelum ini sangat sulit diperoleh.
Sesudah pemerintahan Tajul Alam, tidak ada lagi sultan-sultan di Kerajaan Aceh yang menempa mata uang deureuham. Baru pada masa pemerintahan Sultan Syamsul Alam (1723 M) ditempa sejenis mata uang yang dinamakan keuh Cot Bada. Disebut demikian karena mata uang itu beredar di wilayah Cot Bada saja yang memiliki pasar sangat ramai. Nilainya 140 keueh Cot Bada itu sama dengan 1 ringgit Spanyol. Selanjutnya pengganti Sultan Syamsul Alam yaitu Sultan Alauddin Ahmadsyah (1723-1735 M) menempa lagi pecahan mata uang timah yang juga dinamakan keueh. Ia menetapkan bahwa 800 keueh itu bernilai 1 ringgit Spanyol. Dengan demikian, mata uang berlaku di Kerajaan Aceh pada waktu itu, yaitu 1 ringgit Spanyol sama dengan 4 deureuham, 1 deureuham sama dengan 200 keueh.
Pembuatan mata uang keueh terus berlanjut pada masa pemerintahan sultan-sultan selanjutnya hingga yang terakhir yaitu Sultan Alauddin Mahmudsyah (1870-1874 M). Semenjak waktu itu dan seterusnya Kerajaan Aceh terlibat perang dengan Belanda.
Berbeda dengan deureuham yang berlaku di seluruh kerajaan Aceh, sirkulasi mata uang keueh itu terbatas di wilayah Aceh Besar saja. Di Pidie, misalnya, mata uang itu tidak berlaku sebagai alat tukar. Di daerah itu ulebalang-ulebalangnya mendapat izin untuk menempa mata uang sendiri yang dinamakan gupang (kupang) dan busok yang dibuat dari perak. Pembuatnya ialah orang-orang Keling.

E. Pasar
Pasar yang terdapat di dalam kota Bandar Aceh Darussalam hendaknya jangan diartikan sebagai pasar moderen yang bersifat konkrit, melainkan lebih bersifat abstrak, artinya produsen dan konsumen melakukan transaksi di tempat-tempat itu, lokasi pasar kelihatannya kerapkali berubah sesuai dengan situasi politik dalam ibukota. Sebagai contoh pada masa permulaan pemerintahan Sultan Alaiddin Jauhansyah (1735-1760), saingannya Sultan Jamal alam Badr al-Munir, menjadikan kampung Jawa sebagai pusat kegiatan perniagaan. Pejabat Kesultanan yang bertanggung jawab terhadap pelabuhan dan pasar di sebut Syahbandar.
Menurut peta-peta ibukota yang dibuat oleh Belanda pada permulaan perang Aceh, lokasi Peukan Aceh terletak pada pertemuan Krueng Daroy dengan Krueng Aceh atau pada lokasi kantor C.P.M sekarang.

F. Pelabuhan
Upaya-upaya perluasan daerah yang di lakukan oleh sultan Aceh menjadikan Aceh meliputi jaringan yang luas. Puncaknya pada Abad ke-17 kerajaan Aceh berdiri kuat ; tidak hanya menguasai pantai-pantai tetapi juga hampir seluruh perniagaan pantai timur dan barat pulau Sumatera dan di Semenanjung Tanah Melayu, seperti Johor, Kedah, Pahang dan Perak, dikendalikan oleh kerajaan Aceh.
Sultan Aceh mewajibkan para penanam lada di setiap daerah kekuasaannya untuk menjual panen lada mereka ke pasar Aceh. Oleh sultan Aceh, hasil rempah-rempat itu dijual kembali kepada bangsa asing melalui pelabuhan di Banda Aceh. Kebutuhan akan tenaga kerja pertanian untuk menanam padi dan lada mendorong sultan untuk mendatangkan tenaga kerja terutama dari daerah-daerah yang ditaklukkannya.
Sultan mengusahakan sebanyak mungkin pedagang untuk berdagang di pelabuhannya. Setiap orang asing yang ingin berdagang di salah satu pelabuhan vasal Aceh harus singgah terlebih dahulu di Banda Aceh dan meminta surat pas sesuai dengan paraturan yang berlaku di kerajaan Aceh.
Perlu diketahui bahwa persepsi pelabuhan pada waktu itu jangan disamakan dengan perkembangan pelabuhan pada zaman sekarang, pada waktu itu pelabuhan kebanyakan hanya dengan memanfaatkan muara-muara sungai, seperti muara sungai Aceh.
G. Pertambangan dan Perindustrian
Industri ringan dan berat berkembang pesat di kerajaan Aceh. Ahli-ahli dalam bidang industri dinamakan pande, seperti pande meueh, pande beusoe, pande kaye, pande kapai, dan sebagainya. Tempat-tempat industri itu dinamakan teumpeuen, bahkan terdapat kompleks sebagai daerah industri, yaitu gampong pande.
Beaulieu menceritakan hasil-hasil hutan yang banyak dihasilkan disebutkan di antaranya ; minyak tanah, di Deli terdapat sumber minyak yang mereka anggap tidak bakal bisa dipadamkan apabila dibakar, dan bisa terbakar di laut : sultan Aceh dengan minyak itu pernah membakar dua kapal Portugis yang sedang diperanginya di dekat Malaka. Belerang (tanah cempaka), sekitar enam jam ke arah timur Banda Aceh banyak menghasilkan belerang seperti halnya di Sabang. Kamper (kapur), di Singkel didapati setiap tahun banyak kamper yang dengan tekun dikumpulkan oleh masyarakat dan dijual sekitar 15,16 real sekati, timbangan 28 ons. Kemenyan, di daerah Barus banyak menghasilkan kemenyan, bahkan kemenyan tersebut dipakai sebagai alat tukar di pasar untuk mendapatkan kebutuhan mereka. Emas, diperoleh dari hasil galian secara kecil-kecilan. Emas tersebut kadang-kadang dimanfaatkan dengan menukarnya dengan beras, senjata dan kain katun dari orang-orang Minangkabau dan dengan lada, garam, dan baja.

G. Penutup
Pengalaman Banda Aceh dalam perniagaan menunjukkan betapa pertautan yang erat antara kegiatan perniagaan dengan kegiatan politik. Kejayaan kota itu sebagai salah satu pusat perniagaan di kawasan barat Nusantara pada permulaan pertama abad ke-17 hendaklah dilihat dalam konteks kemampuan sultan untuk menjadikan Kota Banda Aceh sebagai pusat kekuasaan pada waktu itu. Ketika kekuasaan sultan merosot, posisi Banda Aceh sebagai entrepot itu bukan saja diambil alih oleh pusat-pusat baru, seperti Penang dan Singapura, dengan fasilitas infrastruktur moderen yang dibangun oleh pemerintah kolonial, melainkan juga Kota Banda Aceh terpaksa berbagi kegiatan dagang dengan pelabuhan-pelabuhan lain yang muncul di pantai barat dan utara Aceh. Demikian pula era pelabuhan bebas Sabang yang telah menghidupkan kegiatan perdagangan di Kota Banda Aceh harus juga dilihat dalam kerangka pertautan politik dengan dunia dagang.
Bandar Aceh Darussalam sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Aceh, salah satu Bandar perdagangan yang ramai semenjak abad ke-16. Berbeda dengan Malaka pada periode sebelumnya yang hanya mengambil keuntungan dari fungsinya sebagai pelabuhan transito saja, Bandar Aceh justru menggabungkan kedua unsur, baik sebagai pelabuhan transito maupun daerah agraris penghasil berbagai hasil bumi yang berasal dari daerah pedalaman.
Profesi dagang dalam ajaran Islam adalah usaha yang mulia dan merupakan salah satu aktivitas ekonomi masyarakat yang telah berkembang demikian lama dalam sejarah kehidupan social-ekonomi masyarakat Aceh. Perkembangan profesi ini telah mendorong suatu perubahan yang mendasar pada berbagai aspek sosio-kultural masyarakat Aceh pada masa itu.

Daftar Pustaka

Alfian, T. Ibrahim, Mata Uang Kerajaan-Kerajaan di Aceh (Banda Aceh : Museum Aceh, 1986).
Ar-Raniri, Nuruddin, Bustanussalatin, disusun oleh T. Iskandar (Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966)
Jacobs Julius, Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh deel II, (Leiden : E. J. Brill, 1894)
Tjandrasasmita, Uka (ed), Sejarah Nasional Indonesia jilid II, (Jakarta : Depdikbud, 1981/1982)
Reid, Anthony, Southeast Asia in the Age of Commerce, New Haven : Yale University Press, jilid II, 1993.
van Dam, Pieter, Beschrijving van de Oost-Indische Compagnie, deel I, (s’Gravenhage : Martinus Nijhoff, 1923.
Van Langen, K.F.H., ”De Inrichting van het Atjehsche Staatsbertuur onder het Sultanaat” dalam BKI 37 (1888).
Share this post :
 
Design By : Nanggroe WEBdev Powered By e-berita.net