Ketika
mendengar nama Aceh Tengah maka banyak orang berpendapat bahwa ini
adalah “surganya” kopi. Pemikiran ini muncul karena Aceh Tengah
merupakan salah satu penghasil kopi terbaik yang ada di Asia.
Namun tahukah anda ternyata tidak semua masyarakat Aceh Tengah
terobsesi untuk menanam kopi. Contohnya saja ibu Marliah yang tinggal di
Desa Purwosari kecamatan Bandar, Aceh Tengah. Ibu dengan empat orang
anak ini tinggal desa yang dihuni oleh kurang lebih 129 jiwa masyarakat
dan mayoritas mereka adalah petani kopi. Saat ini desa Purwosari
merupakan salah satu desa yang sedang berlangsungnya kegiatan pengabdian
oleh mahasiswa KPM PAR Ar-Raniry angkatan ketiga di tahun 2012.
Walau Purwosari merupakan desa yang mayoritas penduduknya memiliki kebun kopi atau minimal bekerja pada perkebunan kopi namun hal ini tidak berlaku bagi ibu Marliah. Ia lebih memilih memelihara salah satu khazanah kebudayaan Aceh ketimbang bertani kopi. Sekaligus memperkenalkannnya pada suku lain yang mendiami wilayah Aceh Tengah mengenai keberadaan Bolu Aceh. Kue khas yang di budidayakan ibu Marliah adalah Bhoi, bolu kecil-kecil khas Aceh dengan berbagai bentuk.
Sembari memelihara khazanah kebudayaan aceh, ibu Marliah juga menjadikan makanan ringan ini sebagai salah satu bentuk usaha industri rumahan yang kini mulai berkembang.
Kue Bhoi masih jarang di temui di Aceh Tengah, namun hal ini tidak berlaku di Desa Purwosari. Bahkan temon ie (kue untuk snack minuman) para pekerja biasanya di sajikan kue bhoi yang dibeli pada hasil produksi ibu Marliah.
Industri rumahan yang digeluti oleh ibu Marliah dan suami juga sudah mulai berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya nama resmi dan label yang mencantumkan alamat serta nomor handphone pada bagian dalam kemasan kue yang telah dibungkus rapi. Nama dari industri rumahan ini adalah Nagaya Purnama Bakery. Nama ini merupakan hasil kolaborasi antara bahasa Aceh-ingggis-Indonesia, sekaligus di dalamnya memuat nama dari anak sulung pasangan suami istri ini.
Usaha rumahan ini termasuk usaha rumahan pertama ada di Desa Purwosari. Usaha ini sudah berdiri selama lebih kurang empat atau lima tahun tahunan lamanya. Pada usaha rumahan ini tidak hanya Bhoi yang saat ini menjadi usaha rumahan yang di kelola oleh ibu Marliah dan suaminya. Namun juga mereka telah mampu memproduksi berbagai jenis roti lain, di antaranya seprti roti bantal, bolu kukus, donat dan berbagai pesanan kue lainnya.
Tingkat pemasaran usaha rumahan ini sudah mencapai wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Takengon. “Kalau mengenai penjualan, baru satu tahunan inilah yang wilayahnya mencapai ke Bener Meriah dan Takengon. Kalau dulu masih usaha kecil-kecilan aja,” jelas ibu Marliah sang pemilik usaha Nagaya Purnama Bakery.
Rata-rata pada setiap harinya usaha rumahan ini mampu menghasilkan 1500-2000 bungkus kue. Dengan jenis yang berbeda-beda untuk di edarkan kepada setiap toko di berbagai desa seputaran Bener Meriah dan Takengon.
Dari semua roti yang di hasilkan, produk unggulan pada usaha rumahan ini adalah Bhoi. Selain proses pembuatan yang mudah, rasa yang khas juga daya tahan kue Bhoi terbilang lama tanpa harus diberi pengawet. Sehingga tingkat penjualan Bhoi jauh lebih tinggi ketimbang kue-kue lainnya.
Pada awal berdirinya, usaha rumahan ini menggunakan modal yang terhitung besar. Yakni dengan angka Rp 40.000.000. Penggunaan modal ini lebih di fokuskan untuk kepentingan berbagai peralatan memasak kue-kue. Kini penghasilan perhari ibu Marliah dan suami mencapai angka Rp 800.000 hingga Rp. 1 juta.
Untuk menghasilkan kue yang berkisar antara 1500 sampai 2000 perharinya Ibu Marliah memerlukan pekerja sekitar 12 orang. Tugas-tugas yang harus di lakukan oleh para pekerja adalah mulai dari mencetak kue, memasukkan kedalam oven, mengangkat hingga mengepak kue-kue tersebut kedalam kemasan yang telah di sediakan. Kemudian langkah terakhir yang di lakukan oleh sebagian pekerja yang lainnya adalah mengantar ke berbagai toko yang telah memesan kue-kue tersebut.
Walau sudah ada pekerja yang mengantar roti-roti ini ke berbagai toko, namun ibu Marliah tidak lepas tangan begitu saja. “Kadang-kadang saya yang pergi, atau bapak yang mengantar kue-kue yang ini. Sambil sekalian mengambil uang kue yang kemarin telah saya titip,”kisahnya.
Ibu Marliah dan suaminya merupakan pengrajin kue dalam bentuk industri rumahan yang sukses mengembangkan bisnisnya menjadi mata pencaharian tetap. Meskipun mereka tingkal “kampung kopi”, namun tidak berarti harus bekerja menjadi petani kopi. Sebagai orang Aceh yang masih kental, mereka lebih memilih untuk membudidayakan sekaligus berbisnis dengan makanan khas Aceh yang di wariskan oleh nenek moyang mereka sendiri yakni Bhoi.
Penulis adalah Mahasiswa semester VIII jurusan KPI (Komunikasi Dan Penyiaran Islam) Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry yang sedang KPM Di Bener Meriah Aceh Tengah.
Walau Purwosari merupakan desa yang mayoritas penduduknya memiliki kebun kopi atau minimal bekerja pada perkebunan kopi namun hal ini tidak berlaku bagi ibu Marliah. Ia lebih memilih memelihara salah satu khazanah kebudayaan Aceh ketimbang bertani kopi. Sekaligus memperkenalkannnya pada suku lain yang mendiami wilayah Aceh Tengah mengenai keberadaan Bolu Aceh. Kue khas yang di budidayakan ibu Marliah adalah Bhoi, bolu kecil-kecil khas Aceh dengan berbagai bentuk.
Sembari memelihara khazanah kebudayaan aceh, ibu Marliah juga menjadikan makanan ringan ini sebagai salah satu bentuk usaha industri rumahan yang kini mulai berkembang.
Kue Bhoi masih jarang di temui di Aceh Tengah, namun hal ini tidak berlaku di Desa Purwosari. Bahkan temon ie (kue untuk snack minuman) para pekerja biasanya di sajikan kue bhoi yang dibeli pada hasil produksi ibu Marliah.
Industri rumahan yang digeluti oleh ibu Marliah dan suami juga sudah mulai berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya nama resmi dan label yang mencantumkan alamat serta nomor handphone pada bagian dalam kemasan kue yang telah dibungkus rapi. Nama dari industri rumahan ini adalah Nagaya Purnama Bakery. Nama ini merupakan hasil kolaborasi antara bahasa Aceh-ingggis-Indonesia, sekaligus di dalamnya memuat nama dari anak sulung pasangan suami istri ini.
Usaha rumahan ini termasuk usaha rumahan pertama ada di Desa Purwosari. Usaha ini sudah berdiri selama lebih kurang empat atau lima tahun tahunan lamanya. Pada usaha rumahan ini tidak hanya Bhoi yang saat ini menjadi usaha rumahan yang di kelola oleh ibu Marliah dan suaminya. Namun juga mereka telah mampu memproduksi berbagai jenis roti lain, di antaranya seprti roti bantal, bolu kukus, donat dan berbagai pesanan kue lainnya.
Tingkat pemasaran usaha rumahan ini sudah mencapai wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Takengon. “Kalau mengenai penjualan, baru satu tahunan inilah yang wilayahnya mencapai ke Bener Meriah dan Takengon. Kalau dulu masih usaha kecil-kecilan aja,” jelas ibu Marliah sang pemilik usaha Nagaya Purnama Bakery.
Rata-rata pada setiap harinya usaha rumahan ini mampu menghasilkan 1500-2000 bungkus kue. Dengan jenis yang berbeda-beda untuk di edarkan kepada setiap toko di berbagai desa seputaran Bener Meriah dan Takengon.
Dari semua roti yang di hasilkan, produk unggulan pada usaha rumahan ini adalah Bhoi. Selain proses pembuatan yang mudah, rasa yang khas juga daya tahan kue Bhoi terbilang lama tanpa harus diberi pengawet. Sehingga tingkat penjualan Bhoi jauh lebih tinggi ketimbang kue-kue lainnya.
Pada awal berdirinya, usaha rumahan ini menggunakan modal yang terhitung besar. Yakni dengan angka Rp 40.000.000. Penggunaan modal ini lebih di fokuskan untuk kepentingan berbagai peralatan memasak kue-kue. Kini penghasilan perhari ibu Marliah dan suami mencapai angka Rp 800.000 hingga Rp. 1 juta.
Untuk menghasilkan kue yang berkisar antara 1500 sampai 2000 perharinya Ibu Marliah memerlukan pekerja sekitar 12 orang. Tugas-tugas yang harus di lakukan oleh para pekerja adalah mulai dari mencetak kue, memasukkan kedalam oven, mengangkat hingga mengepak kue-kue tersebut kedalam kemasan yang telah di sediakan. Kemudian langkah terakhir yang di lakukan oleh sebagian pekerja yang lainnya adalah mengantar ke berbagai toko yang telah memesan kue-kue tersebut.
Walau sudah ada pekerja yang mengantar roti-roti ini ke berbagai toko, namun ibu Marliah tidak lepas tangan begitu saja. “Kadang-kadang saya yang pergi, atau bapak yang mengantar kue-kue yang ini. Sambil sekalian mengambil uang kue yang kemarin telah saya titip,”kisahnya.
Ibu Marliah dan suaminya merupakan pengrajin kue dalam bentuk industri rumahan yang sukses mengembangkan bisnisnya menjadi mata pencaharian tetap. Meskipun mereka tingkal “kampung kopi”, namun tidak berarti harus bekerja menjadi petani kopi. Sebagai orang Aceh yang masih kental, mereka lebih memilih untuk membudidayakan sekaligus berbisnis dengan makanan khas Aceh yang di wariskan oleh nenek moyang mereka sendiri yakni Bhoi.
Penulis adalah Mahasiswa semester VIII jurusan KPI (Komunikasi Dan Penyiaran Islam) Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry yang sedang KPM Di Bener Meriah Aceh Tengah.