Banda Aceh- Aksi pengrusakan dan penyegelan
gereja yang dilakukan oleh Front Pembela Islam di Aceh Singkil menjadi
sejarah kelam baru dalam kebebasan beragama dan toleransi di Nanggroe
Aceh. Kedamaian beragama terkoyakkan oleh aksi anarkisme atas nama
dominasi dan keyakinan yang kaku.
"Toleransi beragama telah dipraktekan dalam Islam sejak periode awal ke Islaman di masa Rasulullah SAW. Toleransi (Arab: as-samahah) adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama," Juru Bicara Masyarakat Pro Demokrasi (MPD) Agusta Mukhtar kepada The Globe Journal, Selasa (8/5).
Agusta menambahkan, patut diduga, pengrusakan gereja di Aceh Singkil karena lemahnya peran pengawasan dan penegakan hukum dari institusi penegakan hukum khususnya pihak Kepolisian. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil serta Kementerian Agama menjadi bagian dari kelemahan itu sendiri dengan tidak menjalankan peran-peran pembinaan bagi berbagai kelompok secara berkelanjutan.
"Kepolisian cenderung membiarkan upaya-upaya kekerasan sistematis yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal atas nama agama untuk tidak mengatakan kepolisian," sebutnya.
Untuk itu, MPD mendesak berbagai pihak untuk segera melakukan membubarkan berbagai kelompok maupun organisasi massa yang menggunakan kekerasan dan vandalisme, pengusutan tuntas kasus perusakan gereja di Aceh Singkil serta mendorong penyelesaian hukum yang berkeadilan.
"Kami mendorong pencopotan Kepala Kantor Agama Kabupaten Aceh Singkil, Kapolres Aceh Singkil, dan Kepala Satpol PP WH Aceh Singkil dari jabatannya dan meminta aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas dugaan keberpihakan para pejabat diatas akan berbagai aksi kekerasan yang timbul," ajaknya.
Sumber The Globe Journal,
"Toleransi beragama telah dipraktekan dalam Islam sejak periode awal ke Islaman di masa Rasulullah SAW. Toleransi (Arab: as-samahah) adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama," Juru Bicara Masyarakat Pro Demokrasi (MPD) Agusta Mukhtar kepada The Globe Journal, Selasa (8/5).
Agusta menambahkan, patut diduga, pengrusakan gereja di Aceh Singkil karena lemahnya peran pengawasan dan penegakan hukum dari institusi penegakan hukum khususnya pihak Kepolisian. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil serta Kementerian Agama menjadi bagian dari kelemahan itu sendiri dengan tidak menjalankan peran-peran pembinaan bagi berbagai kelompok secara berkelanjutan.
"Kepolisian cenderung membiarkan upaya-upaya kekerasan sistematis yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal atas nama agama untuk tidak mengatakan kepolisian," sebutnya.
Untuk itu, MPD mendesak berbagai pihak untuk segera melakukan membubarkan berbagai kelompok maupun organisasi massa yang menggunakan kekerasan dan vandalisme, pengusutan tuntas kasus perusakan gereja di Aceh Singkil serta mendorong penyelesaian hukum yang berkeadilan.
"Kami mendorong pencopotan Kepala Kantor Agama Kabupaten Aceh Singkil, Kapolres Aceh Singkil, dan Kepala Satpol PP WH Aceh Singkil dari jabatannya dan meminta aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas dugaan keberpihakan para pejabat diatas akan berbagai aksi kekerasan yang timbul," ajaknya.
Sumber The Globe Journal,